PERS: Pahlawan di batas Naluri dan Eksistensialisme
PERS: Pahlawan di batas Naluri dan
Eksistensialisme
Oleh: Trias Novita
Ellsadayna
Di era modern seperti ini, kata pers atau juga
sering dikenal sebagai media massa bukanlah hal yang asing di telinga
masyarakat. Modernitas Indonesia berkembang pesat sejauh ini, tidak lepas dari
peran pers yang besar di awal abad kemunculannya. Bermula dari media cetak
hingga media elektronik, semuanya mendukung berbagai macam perubahan yang
terjadi di dunia. Pergerakan demi pergerakan dapat terekam dengan jelas dan
dapat tersebar ke seluruh penjuru bumi, dikarenakan pers yang aktif dan
memiliki kredibilitas serta akurasi yang tinggi.
Sebuah liputan atau laporan mengenai secuil
peristiwa yang kemudian dibekukan dalam bentuk tulisan, suara maupun gambar
bukanlah suatu hal yang mudah. Semua orang yang berkecimpung dalam bidang ini
memeras pikran, keringat dan air mata untuk satu tujuan yaitu agar orang lain
mendapatkan informasi yang terpercaya dan teraktual. Peranan pers di Indonesia
sangatlah penting, karena telah mengantarkan pergerakan bangsa dari awal
merintis kemerdekaan yang masih dipelopori oleh kesukuan hingga pada akhirnya
menggapai kemerdekaan secara kesatuan bangsa.
Oleh sebab itu, bangsa ini terlalu naïf jika
hanya memandang bahwa Indonesia merdeka hanya karena jasa pihak - pihak yang
angkat senjata di medan pertempuran ketika melawan penjajah. Di sisi lain,
berderet-deret anak bangsa juga ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan melalui
tulisan-tulisan yang dicetak dalam Harian atau Koran Hindia Belanda saat itu,
opini dan tajuk yang berupa kecaman terhadap pemerintahan Belanda maupun Jepang
juga bukti perlawanan yang dilakukan pers. Tidak hanya itu, bahkan radio juga
mengumandangkan suara anak bangsa yang dapat di dengar oleh banyak orang. Siaran-siaran
radio yang juga berisi informasi mengenai kebijakan-kebijakan dan pola
pemerintahan penjajah pada waktu itu sehingga sampai pada masa dimana terjadi
perebutan kekuasaan pusat informasi antara masyarakat pribumi dengan pihak
penjajah. Koran, majalah, radio adalah bentuk dari perjuangan pers yang
menggeliat bagi bangsa Indonesia. Semua itu bentuk partisipasi pers yang
bersikeras menjalankan fungsi dan peranannya di tengah-tengah penjajahan.
Berkaca dari pengalaman di masa lalu, pers
terus memperbarui diri, menunjukkan sumbangsih yang besar bagi Indonesia dengan
cara mengasah fungsi serta tujuannya berada di bumi pertiwi. Hal ini tercantum
dalam UU Pers pasal 6 yang isinya antara lain: menegakkan nilai dasar
demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, serta menghormat
kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tetap,
akurat dan benar, melakukan pengawasan kritik dan koreksi serta saran terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pers secara nalurinya ingin mengembangkan budaya bela Negara di
tengah-tengah bangsa, melalui pendekatan edukatif, persuasive yang berdasar nilai-nilai
pancasila dan nilai-nilai kepejuangan. Jiwa kepejuangan pers ditunjukkan
melalui perilaku yang dilandasi oleh sikap rela berkorban dan tidak menyerah
dalam prosesnya memberikan informasi yang memperjuangkan cita-cita luhur
bangsa.
Hingga tiba pada
saatnya, pers berada di atas angin. Pers sudah berganti wajah, yang dulu
berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dengan pemerintah, kini telah
menempatkan diri sebagai penjilat bagi kedua belah pihak. Jika dalam awal
perkembangannya pers sangat berjasa untuk memperjelas situasi dan kondisi, kini
malah sebaliknya pers berevolusi menjadi pemerkeruh keadaan.. Kepahlawanan pers
sebagai media atau sebagai pihak yang memperjuangkan harkat dan martabat
bangsanya di mata dunia hanyalah berlangsung selama empat sampai lima decade saja. Setelah itu,
pers dikuasai oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Pers menjadi alat
kekuasaan, alat untuk saling menyerang dan menggeliat kea rah yang semakin
tidak jelas. Kemampuan persuasi dan argumentatifnya disalahgunakan untuk saling
menekan pihak-pihak yang berkonflik, tidak hanya itu bahkan saat ini pers telah
menjadi kompor utama dalam memanaskan perseteruan di antara pihak yang hanya
berbeda pendapat. Semakin berkembang wajah pers dalam bentuk elektronik seperti
televise, radio dan internet, dapat dilihat semakin ketat persaingannya.
Masing-masing berlomba-lomba memunculkan isu atau topik terhangat untuk
memperoleh rating yang tinggi. Kewibawaan pers jatuh perlahan-lahan seiring
dengan ambisi para direkturnya untuk meraih eksistensialisme diri.
Pemegang saham dari begitu banyak media saat ini seperti televise, rata-rata adalah para elite politik yang saat ini sedan berebut kursi kekuasaan. Bakrie group atau Bakrie & Brothers yang diketuai oleh Aburizal Bakrie dan keluarganya yang menanamkan sahamnya dan menguasai beberapa station TV swasta antara lain: TVOne, AnTV, TransCorp. Hary Tanoesoedibjo yang merupakan politikus juga tidak ketinggalan, ia memimpin MNC TV dan juga RCTI. Oleh sebab itu tidak jarang hal ini menyebabkan berita atau informasi yang ditayangkan di televisi-televisi swasta ini menuai kontroversi dalam setiap penayangannya. Unsur subjektifitas dan keberpihakan media terhadap satu tokoh, pihak atau golongan tertentu dengan tidak menyajikan fakta yang sesuai dengan realitasnya inilah yang memantik perseteruan baik di masyarakat maupun di antara pihak-pihak terkait. Seringkali ditemui baik secara eksplisit maupun implicit, media berusaha menjatuhkan lawan politiknya dengan berbagai cara. Sebagai bukti nyata, perselisihan antara Wakil Gubernuk DKI Jakarta (Ahok) dengan Mendagri (Gamawan Fauzi) yang pada awalnya hanya berbalas komentar d media sosial menjadi semakin panas ketika seluruh media menyoroti, dan menjadikannya sebagai Headline di sepanjang hari. Kata-kata persuasi yang dilebih-lebihkan memanaskan opini public hingga timbul banyak kecaman dan komentar di antara masyarakat yang mendukung masing-masing pihak, menjatuhkan dan menyudutkan pihak Ahok dan juga pihak Gamawan. Ini menunjukkan pers tidak lagi independen sebagaimana kodratnya. Eksistensialisme yang dikejar oleh pers pada akhirnya meninggalkan naluri dan roh murninya.
Pemegang saham dari begitu banyak media saat ini seperti televise, rata-rata adalah para elite politik yang saat ini sedan berebut kursi kekuasaan. Bakrie group atau Bakrie & Brothers yang diketuai oleh Aburizal Bakrie dan keluarganya yang menanamkan sahamnya dan menguasai beberapa station TV swasta antara lain: TVOne, AnTV, TransCorp. Hary Tanoesoedibjo yang merupakan politikus juga tidak ketinggalan, ia memimpin MNC TV dan juga RCTI. Oleh sebab itu tidak jarang hal ini menyebabkan berita atau informasi yang ditayangkan di televisi-televisi swasta ini menuai kontroversi dalam setiap penayangannya. Unsur subjektifitas dan keberpihakan media terhadap satu tokoh, pihak atau golongan tertentu dengan tidak menyajikan fakta yang sesuai dengan realitasnya inilah yang memantik perseteruan baik di masyarakat maupun di antara pihak-pihak terkait. Seringkali ditemui baik secara eksplisit maupun implicit, media berusaha menjatuhkan lawan politiknya dengan berbagai cara. Sebagai bukti nyata, perselisihan antara Wakil Gubernuk DKI Jakarta (Ahok) dengan Mendagri (Gamawan Fauzi) yang pada awalnya hanya berbalas komentar d media sosial menjadi semakin panas ketika seluruh media menyoroti, dan menjadikannya sebagai Headline di sepanjang hari. Kata-kata persuasi yang dilebih-lebihkan memanaskan opini public hingga timbul banyak kecaman dan komentar di antara masyarakat yang mendukung masing-masing pihak, menjatuhkan dan menyudutkan pihak Ahok dan juga pihak Gamawan. Ini menunjukkan pers tidak lagi independen sebagaimana kodratnya. Eksistensialisme yang dikejar oleh pers pada akhirnya meninggalkan naluri dan roh murninya.
Pembahasan mengenai
pers di Indonesia saat ini sudah sangat mengehntak dan menggetarkan hati. Jika
keadaan ini terus-menerus berlangsung, maka Indonesia akan kehilangan
satu-satunya pahlawannya yang abadi. Kita tahu, bahwa pers tidak akan pernah
mati, ia akan terus hidup sepanjang jaman apabila peran dan fungsinya tidak
dilucuti oleh kepentingan. Akar ketamakan mengejar eksistensialisme dengan
menghancurkan saudara sebangsa sudah harus dibinasakan untuk mengembalikan
naluriah pers beserta dengan roh dan jiwanya yang tulus mengangkat harkat dan
martabat bangsa. Untuk itulah, perlu adanya reflector. Anak bangsa yang
mengambil perannya, bergerak dengan naluri menjadi pahlawan bangsa di masa kini
dan si masa yang akan datang.
Atas nama anak bangsa
demi peringatan Hari Pahlawan
Szaiko 11112013
Comments
Post a Comment