Pewarisan Pekerja anak di Industri Tembakau

Pekerja Anak di Industri Tembakau
(Paradoksal di sudut Kabupaten Jember)

         Perekonomian Kabupaten Jember didominasi oleh usaha di sektor pertanian, yang terdiri dari subsektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan. Khalayak ramai hanya mengetahui bahwa Jember adalah penghasil terbesar tembakau dengan jenis yang bervariasi di Jawa timur. Komoditi perkebunan ini telah menggerakkan sistem perekonomian Jember karena di antara komoditas hasil perkebunan utama lain yang meliputi Karet, Kopi, Coklat, dan Edamame, komoditas tembakau merupakan penyumbang terbesar nilai ekspor dari Kabupaten Jember karena tembakau dari Jember telah berhasil menembus pasar dunia yaitu meliputi Negara Paraguai,Honduras, Belgia, Portugal, Tunisia, Nikaragua, Republik Dominika, USA, Sri Lanka, Jerman, Denmark, Swiss, PuertoRico, Malaysia, Filipina, Prancis, Spanyol, Rusia, Norwegia, Senegal, Inggris, Afrika Selatan, Maroko, dan Swedia
         Ironisnya, di balik keberhasilan Jember mengekspor hasil perkebunan tembakaunya, terdapat fenomena yang telah mengakar kuat dan terkesan membudaya. Perkebunan tembakau telah memberi kehidupan bagi masyarakat Jember yang tinggal di pedesaan. Mayoritas penduduknya bermata-pencaharian sebagai buruh pabrik, petani dan buruh tani. Kenyataannya pekerjaan ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa atau orangtua pada umumnya, namun juga dilakukan oleh anak-anak.

             Inilah yang saya maksud dengan sebuah fenomena unik, karena pekerja anak di industri tembakau adalah anak yang diwariskan oleh orangtuanya untuk juga bekerja ditempat yang sama dengan orangtuanya bekerja. Sistem ini terbentuk begitu saja antara perusahaan tembakau dengan pekerja dewasa yang memiliki anak. Menurut mereka, bekerja sebagai buruh pabrik di lingkungan industri tembakau adalah pekerjaan terbaik yang dapat dimiliki oleh masyarakat desa. Mereka tidak begitu peduli terhadap pendidikan, karena para orangtua tetap beranggapan bahwa sekolah setinggi apapun pasti kembalinya akan menjadi petani atau buruh juga. Hal ini didukung oleh fakta bahwa perusaahaan atau mandor yang bertugas menyortir tenaga kerja tidak melihat latar belakang pendidikan calon pekerja. Jadi jabatan atau tugas yang diterima oleh pekerja yang tidak tamat SD dengan yang lulusan SMA adalah sama. Tidak heran jika pemikiran kebanyakan orang desa di Jember seperti ini, hal ini juga dipicu karena tuntutan kebutuhan semakin hari-semakin meningkat. Mereka membutuhkan pekerjaan yang cepat menghasilkan uang, tanpa harus sekolah terlebih dahulu dan dapat dilakukan oleh seorang yang berumur berapapun.
             Padahal Dinas Tenaga Kerja memiliki aturan yang harus ditaati oleh perusahaan mengenai batas usia pekerja, yaitu minimal 17 tahun. Anak yang berusia di bawah 17 tahun tidak diperkenankan bekerja, karena mereka seharusnya berada di bangku sekolah untuk mengenyam pendidikan.Faktanya sebanyak 56% pekerja anak mulai bekerja ketika mereka berusia di bawah 15 tahun. Di desa-desa di mana usaha tembakau merupakan usaha rakyat cukup banyak ditemukan anak yang bekerja pada usia dini, dengan usia paling muda yaitu 9 tahun karena sifat kerja mereka adalah membantu orang tua, seperti halnya di desa Kamal. Kantor Dinas Tenaga Kerja juga telah melaksanakan inspeksi tetapi hanya ke perusahaan-perusahaan di sektor formal (perusahaan besar) yang telah terdaftar. Sedangkan terhadap industry informal (industry tembakau rakyat atau pengusaha kecil) tidak dilakukan pengawasan apapu karena mandat Bagian Pengawasan Tenaga Kerja tidak mencakup hal itu. Jadi pantas saja jika banyak industri rakyat yang meloloskan seorang anak bekerja di tempatnya dan tidak ada kegiatan apapun untuk menanggulangi masalah anak yang bekerja di Industri tembakau informal.
Anak-anak yang bekerja di industri tembakau rakyat ini adalah hasil “pewarisan” generasi buruh di Jember tepatnya di desa Mayang, dan Tegalwaru. Dengan kata lain anak yang ditemukan sekarang merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga menjadi buruh anak, dan sekarang masih menjadi buruh yang telah dewasa. Ini juga berlaku pada generasi-generasi sebelumnya (Mahbubah,2003). Hal ini semakin menarik karena ditambah lagi dengan proses kecurangan lain yang dilakukan buruh anak untuk dapat bekerja di industri tembakau yaitu dengan melakukan pemalsuan usia dan kesediaannya diperlakukan kasar atau dilecehkan secara seksual. Meskipun anak dan orang tua mengetahui resiko ini, namun mereka tetap saja menjalankan pekerjaannya, seakan telah menjadi sebuah kebiasaan. Dan mental yang berkembang di tengah masyarakat desa ini adala mental “nerimo” dengan kondisi apapun. Pekerjaan ini bukan hanya sebagai nafas bagi banyak keluarga pedesaan di Jember, namun sudah menjadi pekerjaan yang diidolakan oleh seluruh masyarakat di sekitar industri tembakau. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa para calon tenaga kerja berupaya untuk menyogok perusahaan agar dapat diterima, atau agar posisinya dapat dipertahankan di perusahaan tersebut. Kebutuhan ekonomi yang mendesak seringkali juga menempatkan aparat desa dalam situasi di mana mereka tidak bisa menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa anak tersebut sudah mencapai usia kerja.
           Menarik bukan? Apalagi anak-anak yang bekerja di Industri tembakau ini meskipun telah mengalami kecelakaan kerja serta merasa pusing dan sakit yang karena kebanyakan pekerja anak dipekerjakan di gudang seng. Resiko pekerja yang berada di gudang seng adalah
-Monotonnya pekerjaan; duduk terus, berdiri terus, berjalan terus,
-Kontak langsung dengan debu dan aroma tembakau,
- Kondisi ruang yang pengap atau panas
- Bekerja tanpa alat pelindung yang menyebabkan jari dan telapak tangan terluka saat proses memberber (meluruskan daun) dan nyoreh (membuang tulang daun).
- Menerima kondisi yang tidak higenis sebab tidak terpenuhinya kebutuhan toilet

        Tetapi mereka tetap tidak ingin berhenti bekerja. Padahal seharusnya anak usia dini masih senang bermain bersama teman-temannya,dan masih ingin menikmati dunia imajinasinya dengan berbagai aktivitas sosial. Menurut pekerja dewasa dan para orang tua, alasan anak-anak bekerja adalah karena kemiskinan keluarga, anak-anak putus sekolah, dan tradisi masyarakat untuk menyuruh anaknya bekerja terutama anak perempuan Jika mereka harus bekerja seperti itu maka sama artinya dengan merampas hak dasar anak. Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Jika sudah begini, kita hendak menyalahkan siapa? Kita sebagai pengamat tidak bisa memandang suatu fenomena hanya dari satu sudut pandang. Banyak pihak yang terlibat dan mereka semua seolah angkat tangan dan hanya bisa berpendapat. 

Contohnya :
• Dalam pandangan pengusaha, termasuk mandor di perusahaan, keberadaan pekerja anak di usaha tembakau sudah menjadi tradisi dan merupakan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan ekonomi. Meskipun sudah diberi peringatan masalah umur, tetap saja buruh anak memaksa dengan cara memalsukan umur, atau pihak keluarganya sendiri yang melibatkan bekerja. Seharusnya anak di bawah 15 tahun tidak bekerja karena mereka belum kuat tenaganya untuk bekerja di usaha tembakau.
• Organisasi pekerja juga berpandangan bahwa pekerja anak idealnya tidak ada, sebab
peraturan memang melarang pekerja anak. Karena itu, perlu dilakukan pengawasan dan mencari solusi bagaimana menghapuskan buruh anak.
• Perangkat desa mengutarakan meskipun kondisi ekonomi keluarga memaksa anak bekerja, sebetulnya bila orang tua melakukan pengawasan yang ketat agar anak tidak putus sekolah, masalah buruh anak bisa diatasi. Jadi, persoalan ini sebetulnya tergantung pada para orang tua. Banyak orang tua yang karena sehari-hari bekerja (ayah dan ibu), pengawasan terhadap anak menjadi kurang. Semestinya, anak minimal bisa lulus SD, tanpa lebih dulu bekerja.
• Sejumlah instansi pemerintah menekankan bahwa kultur yang ada mengkondisikan anak-anak bekerja. Meskipun perusahaan berkali-kali diawasi, mereka tetap saja berhadapan dengan buruh yang memaksakan dirinya untuk kerja. Seharusnya usia kerja minimal 17 tahun, sehingga anak-anak di bawah usia itu idealnya tidak bekerja. Tapi, bila terpaksa bekerja, diharapkan mereka tetap bisa memenuhi pendidikannya dengan mengikuti pendidikan luar sekolah atau kursus keterampilan.
• Buruh dewasa, orang tua, tokoh agama memberikan pandangan bahwa fenomena anak bekerja merupakan hal yang wajar, terlebih karena ada kebutuhan ekonomi di keluarganya yang menuntut anak bekerja. Selain mereka harus memahami kondisi, bekerja dinilai sebagai upaya untuk belajar mandiri kelak, terlebih bila anak sudah tidak sekolah lagi. Usaha tembakau menjadi gantungan hidup masyarakat, jadi bila ada peluang kerja pasti akan dimasuki karena sulitnya mencari pekerjaan yang lain. Jadi tidak bermasalah bila anak bekerja, dan jika masih membutuhkan pendidikan bisa mengikuti sekolah terbuka atau kursus keterampilan.
• Para akademisi, dan peneliti memberikan pandangan secara teoritis bahwa pekerja anak merupakan akibat dari kemiskinan kultural dan struktural yang dibuktikan dengan keberadaan pekerja anak di usaha tembakau sejak dulu hingga sekarang. Bila permasalahan kemiskinan kultural dan struktural diselesaikan, maka permasalahan pekerja anak juga dapat diselesaikan. Penghapusan pekerja anak tanpa memecahkan masalah kemiskinan akan sulit dicapai.

        Terlihat sekali bahwa semuanya saling melempar, tidak ada yang mau disalahkan, tetapi memang begitulah kenyataannya. Sebenarnya semua yang berpendapat tu, mereka juga terlibat didalam fenomena pekerja anak yang kompleks ini. Fenomena in tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja, namun juga mebutuhkan tangan-tangan lain untuk bersama-sama bersinergi dan bekerjasama mencari dan menerapkan solusi efektif yang dapat menghentikan pekerja anak di kabupaten Jember.
Semua yang terlibat harus membuka mata, membuka telinga dan hati untuk masalah ini. Penanganan yang hanya setengah-setengah dan tidak menyeluruh tidak akan menghentikan “pembudayaan” pekerja anak ini.
Dibutuhkan suatu program yang serius dan melibatkan semua komponen masyarakat. Misalnya dengan :
• Sosialisasi pentingnya pendidikan 9 tahun bagi anak-anak.
• Memberikan dispensasi sekolah gratis bagi anak desa.
• Pemberian informasi kepada para pengusaha lokal atau pengusaha kecil tembakau mengenai peraturan-peraturan yang ada tentang usia minimum, jam kerja untuk anak (jika terpaksa) dan tipe-tipe pekerjaan yang tidak membahayakan anak-anak yang terlibat.
• Peningkatan kesadaran mengenai risiko-risiko kerja dan pemberian petunjuk praktis kepada pengusaha-pengusaha lokal, orang tua, dan anak-anak tentang bagaimana meminimalkan risiko dengan menggunakan alat pelindung diri.
• Memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan anak-anak.
• Memberi pelatihan kursus dan ketramplan pada anak-anak untuk mengembangkan potensinya dan siap berdiri sendiri di dunia kerja.

         Sebenarnya dalam perundang-undangan, anak sama sekali tidak diperbolehkan bekerja. Anak memiliki hak-hak dasar dan umum yang harus dilindungi, dipenuhi dan diperjuangkan bahkan dalam dasar hukum pembangunan Komisi Perlindungan Anak juga menyebutkan tentang hukum ketenagakerjaan. Sedangkan dalam fenomena pekerja anak terdapat banyak sekali pelanggaran terhadap hak-hak anak.


*You'll find the treasure if you also click this*

Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial