# MELUKIS CINTA #

# MELUKIS CINTA #
(Sebuah cerita kompilasi dari cerita-cerita yang 'terputus', bagaimana setiap cerita memiliki alur untuk disambung)

Hai, aku Fortuna dan aku suka sekali membawa kanvas beserta kuasnya ke tempat-tempat menakjubkan, salah satunya pantai. Melukis segala hal yang kulihat dan kudengar menjadi sebuah kebutuhanku sepanjang waktu bukan lagi sekedar hobby. Tapi jangan kira aku hanya melukis hal-hal yang indah saja, aku malah lebih sering melukis tentang atmosfer ‘hitam’ dan ‘kelam’. Lewat lukisan itulah aku bercerita, dan kali ini aku ingin menceritakan sebuah kisah yang temanya mungkin terdengar klasik.
Cinta. Kata ini selalu dinyanyikan dimana saja, siapa saja dan kapan saja. Tidak hanya dinyanyikan, bahkan juga dituliskan dalam berbagai bentuk seperti paraphrase, novel, sajak, syair, skenario dan juga dinding-dinding tua yang sudah tak bertuan. Tapi sebegitu seringnya kita mendengar tentang cinta, apakah sesering itu jugakah kita mengucapkannya dengan ketulusan hati dan sikap yang real?
Sebab kenyataan yang kudapati pagi ini adalah sebuah kata cinta yang tak terungkapkan di antara bapak dan ibu. Entah apakah itu bahasa kasih mereka sendiri atau aku saja yang tak cukup paham tentang arti pertengkaran di dalam perkawinan. Suara bapak dan ibu yang memecah suasana dengan nada-nada tinggi dan kasar membuatku berpikir haruskah orangtua bertengkar di depan anak-anaknya? Meskipun aku sudah berusia 22 tahun, hal ini tetap saja mengesalkan bagiku.
Setiap kali aku ingin menenangkan pikiranku atau sekedar mencari inspirasi untuk melukis aku selalu ke tempat ini. Tempat dimana aku bisa melihat dengan jelas hamparan pasir putih yang menjadi alas dudukku, tempat yang menyajikan keindahan birunya laut, dan angin yang tidak pernah berhenti berhembus.
Pergi ke pantai ini, adalah satu-satunya caraku untuk menghilangkan kepenatan yang menyergap hatiku. Sesaat larut dalam lukisanku yang menggambarkan kegeramanku tentang sebuah pertengkaran, seseorang menepuk bahuku dari belakang …
“Hei, boleh aku duduk disini ?” sapa seorang laki-laki yang baru saja kukenal seminggu lalu
“Oh, hei. Iya silahkan. Hari ini, kamu berselancar lagi?” tanyaku setelah mempersilakannya duduk disampingku
“Ehm, iyaa. Tapi baru aja selesai. Kamu baru datang ya?”
“iya” jawabku sambil mengangguk
“apa ada masalah?” tanyanya
“tahu darimana?” aku menoleh sambil mengeryitkan dahi
“lukisanmu mengatakan sesuatu. Haha”
“bukan masalah sih, Cuma ungkapan hati aja. Haha”
Laki-laki ini bernama Kamga, ia salah satu peselancar terbaik di negeri ini. Aku juga tak menyangka bahwa aku bisa berkenalan dengannya. Perkenalan seminggu lalu berlangsung begitu saja tanpa direncanakan. Aku tidak bisa mengatakan kata-kata apa yang bisa menggambarkan tentang dirinya. Mungkin satu kata ini tepat: Sempurna! Sekalipun sulit untuk dideskripsikan dengan bahasa, tapi aku akan mencoba menggambarkannya. Dia laki-laki berdarah campuran Jepang-Indonesia, dan yang kutangkap pertama kali adalah matanya. Benar! Matanya yang sipit tetapi tajam, dan aku tertangkap oleh mata itu, mata yang bisa membaca arti dan aura lukisanku. Kulitnya kuning langsat, oleh sebab itu aku tidak khawatir jika dia benar-benar peselancar hebat, karena kulitnya tidak akan pernah bisa terpanggang sinar matahari, seterik apapun. Rambutnya lurus, dengan potongan spiky. Tinggi badannya 175 cm, aku mengetahuinya bukan karena aku telah mengukurnya, tetapi karena dia mengatakannya pada saat pertemuan kami yang pertama. Satu lagi, jarak alis,  hidung, bibir, dan telinganya proporsional. Kurasa banyak gadis akan menyukai bagian ini, bibirnya yang tipis dan memerah. Apakah ini cukup detail? Aku takut jika aku mengungkapkannya terlalu banyak, maka malah akan menjadi seperti cerita bohong atau terlihat sebagai khayalanku saja tentang seorang pria. Banyak orang bilang bahwa tidak ada satu manusiapun yang sempurna, jadi jika kuungkapkan semua pasti tidak akan ada yang mempercayaiku, karena kenyataannya begitulah adanya. Tapi sama halnya dengan kebanyakan orang yang meyakini pepatah itu, aku juga mempercayainya. Aku yakin, dia pasti memiliki ketidaksempurnaan jauh di dalam dirinya yang sebenarnya.
Aku menikmati saat dimana kehadirannya menemaniku menembus imajinasiku. Dia memiliki pesona tersendiri untuk mencairkan suasana dan membuat seseorang bisa merasa nyaman disampingnya. Tidak terasa matahari hampir tenggelam, dan sudah waktunya kembali ke rumah masing-masing. Kemudian saat aku hendak masuk ke dalam mobilku, aku melihat sebuah mobil honda jazz berwarna hitam berhenti didepan Kamga, dan ia segera masuk kedalamnya dan segera melesat meninggalkanku yang masih larut dalam tanda tanyaku sendiri. “Mengapa Kamga tidak membawa kendaraannya sendiri?”
            Hari ini aku ingin sekali datang ke pantai, berharap bisa bertemu dengan Kamga dan berbagi cerita lagi dengannya. Tapi, sudah berjam-jam aku menunggunya dan tidak ada tanda kehadirannya di pantai ini. Matahari baru saja tenggelam, dan aku memutuskan untuk berhenti menunggunya dan pulang dengan hasil lukisanku yang ‘kacau’ karena perasaan menunggu yang melelahkan.
            Setiap hari aku datang ke pantai untuk melihat Kamga lagi, tetapi sudah seminggu Kamga seolah menghilang terhempas angin, dan aku tidak pernah tahu lagi kapan dia akan datang. Atau mungkin dia datang tetapi tidak menungguku? Ah, entahlah. Kenapa aku begitu memikirkannya? Siapa dia, sehingga aku harus bertanya-tanya tentang sikapnya waktu itu. Mengapa Kamga harus diantar-jemput? Mungkinkah Kamga sebenarnya adalah laki-laki yang rapuh dan punya penyakit serius? Ah, tidak mungkin Kamga sakit, dia kan atlet selancar, pasti fisiknya dalam keadaan yang sehat. Lalu siapa yang menjemputnya? mungkinkah pacarnya, adiknya, kakaknya, sahabatnya, atau orang asing, dan menculik Kamga??? Arrrgh, pikiranku semakin kacau. Khayalan-khayalan ini yang telah terkontaminasi dengan cerita sinetron-sinetron yang sering ditonton ibu membuat aku sendiri muak. Haha, sepenting itukah sosok Kamga sehingga mulai meracuni lingkungan psikologisku? Atau aku sedang ...
“Jatuh cinta ya?” suara seorang laki-laki membuyarkan lamunanku
“ah, eh.. emh, Kamga?” aku terkejut dan sontak kegirangan sambil berucap dalam hati akhirnyaa, dia dataaang ....
“Kenapa? Kok mukamu aneh?”
“Ha? Eh, iya kaget aja. Apa? Tadi kamu bilang apa? Jatuh cinta? Siapa bilang?” sungguh-sungguh aku salah tingkah didepannya.
“Itu. Lukisanmu” katanya sambil menunjuk pada coretan-coretan berwarna merah, jingga dan ungu yang kubuat secara asal.
“Ha? Kupikir ini coretan abstrak dan kubuat tanpa makna”
“Tidak mungkin tanpa makna. Saat kamu sedang melamun atau membayangkan sesuatu, dan tanganmu terus bergerak maka yang kamu hasilkan di kanvasmu adalah hal yang paling membebani pikiranmu dan itu buah alam bawah sadarmu”
“Bagaimana kamu tahu? Dan kalau kamu memang tahu, katakan apa yang ada di alam bawah sadarku”
“Very easy. It tell me how you feel recently. curious, worry, happy but trapped in a little of anxious so there are make you confuse. Right? Haha” ucapnya sambil melambaikan tangannya, dan secepat kilat ia sudah berada di tengah ombak menyatu dengan teriknya sinar matahari dan deburan air laut. Dan sekali lagi, aku terpaku. Terdiam dan benar-benar tidak dapat menyangkal ataupun menanggapi semua ucapannya.
Setelah puas berselancar, Kamga akhirnya beristirahat di sampingku dan meminum air mineral yang telah dibawanya. Kemudian ia merebahkan punggungnya diatas pasir dan bertanya padaku
“Apa yang kamu pikirkan saat menatap langit?” tatapannya yang jauh lurus menembus langit
“Ehm, tidak ada. Karena langit membuat pikiranku kosong. Tetapi berbeda saat aku menatap laut seperti ini” jawabku dengan tatapan jauh kearah laut yang membentang
“Langit yang seperti ini meneduhkan. Tetapi laut membuat perasaan menjadi bersemangat, dan bergelora. Keduanya memberikan inspirasi, bukan?”
“Iya. Keduanya menjadi insiprasi untuk hal yang berbeda. Keduanya memiliki peran masing-masing sesuai porsinya. Termasuk dalam lukisanku”
“Fortuna, pernahkah kamu merasa terpuruk sekali sampai kamu merasa bahwa langitpun tak bisa lagi meneduhkan hatimu?” tanyanya kemudian
“Pernah. Lalu aku datang pada laut. Dan mereka bersinergi dengan sangat baik”
Kemudian Kamgapun bangun, dan terduduk. Dia menatapku dengan tatapan sayu.
Aku minta maaf” ucapnya lirih
Untuk?”
selama seminggu aku menghilang. Dan aku tidak pernah datang menemuimu, menemui laut ataupun langit. Aku tidak tahu apakah kamu mencariku atau tidak, apakah kamu menungguku atau tidak, aku tetap minta maaf”
Oh, apakah ada sesuatu yang tidak beres dan mengganjal hatimu akhir-akhir ini, sehingga menghambatmu?
“Ya.. aku ingin bercerita padamu. Tentang Sendu
“Baiklah aku mendengarkannya” ucapku singkat, sambil terus memerhatikannya berbicara
“Lima hari yang lalu aku bertemu seseorang yang bernama Sendu. Ia tidak pernah tersenyum, ia selalu murung dan tidak bergairah dalam banyak hal. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menemui orang-orang yang juga dalam kesedihan. Saat bertemu dengan orang-orang itu ia tidak berbicara apapun. Ia hanya diam. Seringkali hujan menyertai perjalanannya, tanpa alas kaki dan juga tanpa payung. Mungkin kamu akan mengira dia sudah kehilangan akal sehat, atau ia hanya salah satu dari gadis yang mengidap schizofrenia. Tapi tunggu dulu, apakah baru saja aku mengatakan bahwa ia seorang gadis, atau kamu mengira bahwa ia memang seorang gadis?
“Kukira sendu adalah memang nama seorang gadis” jawabku
“Ah, tapi biarlah orang menganggapnya seorang gadis, karena jika diperhatikan ia memang tampak seperti gadis, yang kuyu, lesu, dan lemah dengan pakaian hitam dan rambut legam hitamnya sarat dengan makna. Apakah ia tidak punya teman? menurutmu adakah yang ingin berteman dengan sosok misterius seperti dia?
“Mungkin saja ia tampak seperti seorang cenayang, jadi tak punya cukup teman” jawabku lagi
“Tentu saja dia punya teman. Teman-temannya adalah teman yang akan memanggilnya setiap hujan deras turun, setiap kali mereka ada di pemakaman, setiap kali mereka putus dengan pacar atau sesaat setelah bertengkar dengan orang tua mereka. Mereka-mereka itulah yang selalu menjadi teman sendu”
“Lalu apakah kamu dan sendu sekarang telah berteman?” tanyaku kemudian
“Yaah, mungkin saja. Sebab aku merasa kesepian di tengah-tengah rumah besar yang gelap tanpa warna, seperti seseorang yang disekap. Disitulah sendu menghampiriku”
“Apakah dengan kehadiran sendu membuat suasana hatimu menjadi lebih baik?”
“Tidak tahu. Sesaat kehadirannya bisa membuatku sedikit memiliki waktu untuk merenung, tapi tidak benar-benar memulihkan kerapuhanku”
“Bagaimana bisa begitu? Kerapuhan yang seperti apa?” aku semakin penasaran dengan seluruh cerita Kamga
“Tepat saat itu, Ayah yang ku benci seumur hidupku, kembali kepada Sang Kuasa” aku tersentak mendengar pokok permasalahan Kamga, inilah alasan mengapa ia seolah menghilang. Aku tidak berani melanjutkan percakapan, meski sebenarnya masih banyak pertanyaan dalam hatiku.
Baiklah, aku akan menyimpan ceritamu. Terimakasih telah menceritakannya, setidaknya aku benar-benar lega, hari ini aku bisa bertemu lagi denganmu”
Yaa, aku juga lega. Bisa menceritakan ini padamu, dan kalau tidak keberatan, maukah kamu mengantarku pulang?”
Hmm, baiklah. Malaikat tidak bisa menolak permintaan pengemis tampan ini. Ahaha” jawabku sambil melempar candaan dan kami berdua tertawa lepas. Senang rasanya bisa membuat  keadaan mencair. Sesekali membicarakan hal yang filosofis, tetapi juga dapat bercanda dengan bahan obrolan yang ringan. Akhirnya kami berdua bersiap, dan bergegas pulang.
***
Pagi ini, Kamga meneleponku untuk datang ke pantai. Nomor teleponku? Beberapa hari
yang lalu saat aku mengantarnya pulang ia meminta nomor teleponku, dia bilang hanya untuk berkomunikasi saat dia membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkannya. Dan ini pertama kalinya ia menghubungiku jadi mungkin ini adalah kondisi penting dimana dia sangat membutuhkanku, jadi aku sangat senang bahwa ternyata ia menganggap aku ada. Aku bergegas mengendarai mobilku, sampai tiba di pantai. Dan kali ini ia berdiri diatas pasir putih dengan bertelanjang kaki namun tidak membawa papan seluncurnya. Ia telah menungguku. Aku menghampirinya
"Hei.. Tidak terlalu pagikah ini untuk berselancar?" aku menyapanya
"Ah, aku tidak berselancar hari ini" timpalnya
"Lalu? Apakah hanya untuk berbicara denganku?"
"Ya tentu saja, aku tidak akan menghubungimu jika aku tidak membutuhkanmu" ucapnya tandas. Sedikit mencekikkku, selain kalimat terakhir 'jika tidak membutuhkanku' yang agak menusukhatiku, ia juga berbicara tidak memandang ke arahku
"oh, ah. Ehm. Begitu. Baik, apa yang bisa kulakukan untukmu?" tanyaku dengan terbata
"Bisakah aku memintamu untuk melakukan operasi?" sekali lagi, dia mengatakan kalimat yang membuat aku tak bisa berpikir apapun. Tanpa basa-basi dan sekali lagi, tanpa menadang ke arahku. Untuk sesaat aku terdiam, aku mencoba menenangkan hati dan pikiranku, aku mencoba mecerna setiap perkataannya, aku menghela napas dan aku menyadari keseriusannya
"Ha?,  operasi apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Ikutlah aku, ke rumah sakit sekarang. Setelah pemeriksaan, kamu akan tahu. Kuharap kamu cocok untuk ini."
"Apa? Hari ini juga?"
"Ya tentu saja, hari ini! Tidak ada waktu lagi! Mari kita pergi dengan mobilmu" Kamga dengan segera menarik tanganku, dan duduk di kursi pengemudi. Ia meminta kunci mobilku, dan dia menuju ke rumah sakit tanpa menunggu jawaban dariku. Andai saja aku bisa, aku ingin berteriak KAAMMGAAAA!! Apa yang baru saja kau katakan?? Apa yang baru saja kau lakukan?? Rumah sakit? Pemeriksaan? Operasi?? Heii, what are you talking about? Sesepele itukah ? Kau keterlaluaan! Sungguh, bagaimana mungkin gadis yang baru 3 minggu kau kenal, dengan tiba-tiba kau menyuruhnya untuk melakukan operasi. Tanpa basa-basi, tanpa menceritakan apapun secara detail. Sepanjang perjalanan aku terus merutukinya dalam hati, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran orang ini. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Terlalu bodoh sebagai wanita, jika hanya diam membisu karena tersekap oleh pesonanya itu. Tetapi memang inilah kenyataannya, aku tidak bisa membantah setiap ucapannya, entah mengapa.
"Kamu boleh saja mengutukiku dalam hatimu, for. Aku tahu, bahwa kamu sedang berpikir bahwa aku laki-laki kejam dan keterlaluan, sampai melakukan ini semua padamu. Tapi …" kamga menghentikan ucapannya sekaligus menghentikan mobil.
"Kenapa berhenti?"
"Tapi kita sudah sampai. Ayo turun"  Arrgh, benar saja. Tanpa terasa mobil sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Ternyata memikirkan hal ini, membuatku tidak fokus kepada apapun yang ada di depanku. Aku mengikutinya dari belakang memasuki area rumah sakit dengan kekesalan yang luar biasa.
Aku memasuki lorong-lorong rumah sakit, melihat ke kanan dan ke kiri. Banyak wajah-
wajah orang yang tidak berdaya, dengan di dampingi oleh orang-orang terdekat mereka. Tetapi langkahku terhenti ketika berdiri di hadapanku empat orang  asing. Dua orang adalah seorang pria dan wanita kupikir mereka pasangan dan lebih tua beberapa tahun dariku dan kamga. Sedangkan dua orang lagi adalah perawat dan juga dokter. Ya aku tahu dengan pasti dari seragam yang mereka kenakan.
"Maafkan, kalau aku terlalu lama, kak" ucap kamga di depan sepasang suami isteri itu
"Tidak apa-apa, dik." ucap wanita yang lebih tua yang kukira ia adalah kakak dari Kamga
"Perkenalkan ini Fortuna, kurasa dia pilihan yang tepat untuk ini. Bisakah dia memulai pemeriksaannya, dok?" Ucap kamga seraya memperkenalkanku kepada sang dokter.
 "Apakah ini tidak apa-apa, for? Jika kamu sudah siap, kami akan pergi sejenak. Lakukanlah seperti apa yang dokter katakan. Kamga akan menemanimu" kakak kamga mendekatiku, dan berkata padaku sambil menyentuh pundakku. Tidakkah ia bisa membaca ekspresi ketakutanku? Ahhh, aku sudah terjebak dalam situasi ini. Menolak? Kabur? Lalu dikejar-kejar beramai-ramai? Waw dramatis sekali. Dan aku membencinya!
"ah, ehm. Iya tidak apa-apa." balasku singkat dengan menampilkan sedikit senyum simpul yang sangat amat terpaksa.
"Fortuna, aku tahu ini sangat mengganjal dihatimu. Aku tahu bahwa ada begitu banyak keterpaksaan, ketegangan dan amarah. Tetapi, bisakah kamu mempercayaiku sekali lagi? Sejak pertemuan kita di awal, dengan mudah kita menceritakan segala sesuatu yang kita alami, bukan? Kamu percaya bahwa aku bisa memegang semua ceritamu, dan aku mempercayaimu untuk menyimpan apapun yang sudah kuceritakan, bahkan yang akan kuceritakan. Seperti itu saja, bagaimana?"
"Baiklah, aku akan melakukannya sekali lagi. Mempercayaimu." Aku berusaha untuk menempatkan emosiku ditempat yang tepat, aku tahu bahwakalaupun aku meluap-luap saat ini itu hanya akan menjadi hal buruk untuk semuanya. Meski tanpa alasan aku tetap menjalani pemeriksaan dan operasi ini.
***
            Begitulah aku melukis Cinta. Begitulah aku melakukan Cinta. Ia bukan hanya sekedar ungkapan atau kiasan belaka, atau hanya angan-angan yang khayal. Tapi Cinta itu nyata, saat ada tindakan. Tidak perlu berpikir dua kali atau berulang kali untuk melakukannya, meskipun ada banyak tanda tanya besar. Cinta membawa keselamatan. Kamga tidak ingin kehilangan orang tuanya untuk kedua kali, betapapun ia membenci mereka dahulu, tapi Cinta mendamaikan ia dengan masa lalunya. Keyakinan untuk percaya satu dengan yang lain membuatku rela menjalani operasi transplantasi ginjal untuk ibu Kamga sekalipun aku tidak pernah mengenal sosoknya sebelumnya. Cinta ini juga yang membawaku menghargai dan menghormati kedua orangtuaku yang masih lengkap sehingga aku mampu berkorban untuknya. Saat ada hati yang saling mempercayai satu dengan yang lain, itu sudah merupakan Fondasi yang lebih dari cukup. Ada banyak bahasa tentang Cinta, tetapi hanya ada satu yang bisa menerjemahkannya. Yaitu Tindakan!


~Szaiko~

Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial