Menulis sebagai Terapi Dini (For Parents)
Terapi Menulis untuk Parents
Hai, parents! Bagaimana cuaca hari ini? Cukup
cerahkah, sehingga memungkinkan untuk mengerjakan banyak akitivitas diluar
rumah? Atau cuacanya tampak sedang tak bersahabat, sehingga membuat aktivitas
terpaksa dilakukan di dalam rumah saja? Lalu bagaimana kabar anak-anak hari
ini? Apakah mereka terlihat senang melakukan berbagai macam kegiatannya? Atau
alih-alih mereka tampak bosan dengan lingkungannya? Wah, parents harus lebih
peka, lho. Karena perubahan mood anak akan menentukan reaksi apa yang akan
mereka berikan terhadap sesuatu.
Hmmm… omong-omong tentang reaksi
anak, pernah nggak sih parents mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan dari
anak? Apalagi kalau parents sekarang punya anak yang sedang dalam usia remaja.
Pasti parents punya cerita yang seru nih seputar pengalaman menghadapi reaksi
anak yang bergejolak. Nah, aku punya satu
cerita nih parents. Adikku bernama Bagus, saat itu ia menginjak umur 13 tahun.
Parents tentu tahu dong, usia belasan seperti ini adalah usia yang sulit sekali
ditebak kemauannya. Hhhmmm.. cukup melelahkan punya adik yang beranjak ABG.
Hehe… Suatu hari Bagus sedang ingin bermain diluar bersama teman-temannya, ia
ingin bermain futsal. Beberapa saat kemudian temannya datang menjemputnya, alhasil
Bagus segera meluncur keluar dari rumah tanpa berpamitan. Tidak ada seorangpun
yang tahu kemana perginya Bagus, sampai akhirnya waktu dia pulang, papa dan
mama mulai menginterogasinya (seperti penjahat!). Papa menanyakan “Kemana saja,
kok baru pulang?”, “Pulang sekolah kok gak langsung dirumah, malah ngluyur ae!”, Mama juga tak kalah ikut-ikutan “Le.. le.. mbok ya kalo pulang sekolah itu makan siang dulu, diisi
perutnya. Kalau mau pergi biasakan ijin dulu, biar gak dicariin”. Bagus yang
waktu pulang dengan penuh keringat, sambil menenteng sepatu futsalnya, lewat
begitu saja di depan papa dan mama tanpa menoleh sedikitpun. Ia melemparkan
sepatu futsalnya dengan sembarangan, kemudian masuk di kamar dan membanting
pintu. Jam makan malam pun berlalu, Bagus masih tetap saja di kamar kemudian
aku memanggilnya keluar. “Gus.. gus.. ayo makan!”. Tidak ada sahutan. Aku
mengulangi lagi dengan suara lebih keras. Tetap tidak ada sahutan. Saat ku buka
pintu kamarnya, ternyata dia tidur! Kami memutuskan untuk membiarkannya tidur
saja, sampai pagi datang. Hal yang sama dan kebiasaan yang sama terus berulang
seperti ini. Sampai suatu kali, ketika Bagus sudah menyiapkan diri hendak
bermain futsal, ia mendapat teguran keras “Gak ada futsal-futsalan. Awas!
Temanmu gak boleh lagi datang jemput-jemput kesini!” papa melarang Bagus untuk
keluar dari pintu utama. Bagus terkejut mendengar bentakan itu, spontan
langsung melemparkan sepatu futsalnya di ruang tamu, lalu bergegas masuk ke
kamarnya. Saat itu mama belum pulang kerja, papa sudah berjaga-jaga di teras
rumah untuk tidak membiarkan teman bagus datang menjemputnya dan mengatakan
pada mereka bahwa Bagus sedang tidur. Aku yang melihat kejadian itu mengintip
dari jendela kamarnya, terdengar suara sesenggukan dari dalam kamar. Bagus
menangis! Brum.. bruum.. terdengar suara sepeda motor, ya! Mama datang! Tetapi
sesaat kemudian aku mendengar suara “Anakmu iku
lo. Kandani jok mlaku ae sikile. Arek kok
gak onok menenge blas. Podo karo mbok.e”(artinya: Anakmu itu, nasehati
jangan jalan-jalan saja kakinya. Anak kok tidak bisa diam sekali. Sama seperti
ibunya.) Baru saja mama pulang, kemudian dikenai teguran yang seperti itu
membuat hati mama menjadi panas. Kemudian mama masuk ke dalam kamar Bagus, dan
membukanya. Melihat anaknya yang sedang menangis seperti itu, mama kemudian
mencubitnya dengan keras (mungkin mama terbawa emosi dan suasana hati yang
panas) “Opo seh le? Jangan buat mama
sedih to le. Kamu ngapain? Maunya mintanya apa? Main tok, iya? Gak usah belajar?”
Tangisan Bagus terdengar semakin kuat dank eras, kemudian ia memberontak
“Hiks.. Apa seh ma? Kenapa semua semua marah ke aku. Aku lo gak salah apa-apa.
Kenapa aku dimarahi? Mosok aku kudu dirumah tok. Meneng dirumah tok. Bosen ma. Mosok
koncoku gak oleh dolen mrene, aku ya ga oleh metu. Yaopo se karepe..
hhuhuhu hiks..” (artinya: apa sih ma, kenapa semuanya marah ke aku? Aku gak
salah apa-apa. Kenapa aku dimarahi? Masa’ aku harus dirumah aja. Diam di rumah
aja. Bosen ma. Masa’ temanku gak boleh main kesini, aku juga gak boleh keluar.
Gimana sih, maunya?”
Begitulah sekelumit peristiwa yang
terjadi antara adikku dan orangtuaku, parents. Apakah parents bisa menandai
bagian-bagian mana saja yang menjadi reaksi dari sebuah peristiwa? Ternyata aksi
dari parents juga akan memengaruhi reaksi anak, lho. So, parents harus lebih
berhati-hati lagi dong untuk menanggapi kemauan si buah hati. Tapi bukan
berarti parents menjadi permisif atas semua kemauan anak, parents tetap bisa
menjalankan fungsi sebagai penegas dan sahabat, kok.
Saat emosi anak sedang tak stabil,
biasanya mereka akan mencari tempat pelampiasan. Mereka bisa mengurung diri di
kamar, setel musik dengan volume yang besar, berjalan-jalan berputar, pergi keluar
rumah, mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi, mengacak-acak kamar,
mengurung diri di kamar mandi sambil berendam di bath up, atau du bawah shower,
atau hal-hal yang lain. Tiap-tiap anak memiliki caranya masing-masing, bahka
ada yang menuliskannya di diary. Wow, diary lho parents! Parents yang memiliki
anak suka menulis diary, tidak usah bingung ketika membaca tulisannya. Mungkin
parents akan menemukan nama parents tertera disana, atau bahkan nama-nama orang
lain yang parents tidak pernah kenal sebelumnya. Ya! Bisa jadi teman dekatnya!
Hahaha..
Parents pernah gak mendapati anak lagi
depresi atau lagi marah dan sedih sampai mogok sekolah atau mogok makan?
Mungkin kalau parents mendapati hal yang demikian terjadi, parents menganggap itu hal yang sepele dan berlangsung cuma sebentar saja. Eits, tapi hati-hati lho parents, keadaan yang demikian bisa menjadi pertanda bahwa anak sedang menyimpan luka di hatinya. Ada penelitian nih parents tentang penanganan anak yang sedang murung dan terindikasi depresi dengan melakukan expressive writting.
Expressive writting adalah salah
satu alternatif intervensi yang paling mudah, murah, dan dapat dilakukan oleh
siapa saja. (Pennebaker, 2002).
Expressive writing yaitu kegiatan menuliskan pikiran dan menjelaskan
bahwa perasaan terdalam tentang suatu peristiwa traumatis atau pengalaman emosi
yang pernah dialami (Pennebaker, 1997; Pennebaker, 2002). Secara umum expressive
writing dilaksanakan selama15-30 menit dalam waktu 3-4 hari berturut-turut
(Pennebaker, 1997). Nah, expressive writting ini bisa dilakukan oleh anak untuk belajar menyatukan isi pikirannya, mengingat peristiwa traumatis
yang pernah dialami untuk dihadirkan kembali ke dalam pikiran, memilih hal-hal
yang ingin disampaikan melalui tulisan, dan melatih emosi agar terbiasa
menghadapi kembali perisitwa yang awalnya dianggap traumatis (pennebaker 2002).
Semakin sering menulis diharapkan anak yang bersangkutan akan memperoleh
gambaran tentang peristiwa traumatisnya secara menyeluruh sehinga semakin
memahami peristiwa tersebut, berpikir luas dan integrative, mampu melakukan
refleksi diri, dan akhirnya anak bisa memandang peristiwa traumatis tersebut dari sudut
pandang yang berbeda sehingga mampu menemukan penyelesaiannya.
Memahami sebab-sebab suatu peristiwa
yang mengganggu secara bersama-sama dengan sikap refleksi diri merupakan prasyarat utama
untuk memperoleh peningkatan kesehatan. Parents yang telah mampu memahami apa
yang terjadi pada anaknya akhirnya menyadari bahwa tidak semua yang terjadi adalah
murni dari kesalahan si anak sendiri ataupun murni kesalahan parents. Diharapkan dengan hasil yang diperoleh dari expressive writting dapat membantu parents untuk mampu melihat diri sendiri dan diri anak secara lebih
positif. Hal tersebut juga dapat meningkatkan konsep diri, dimana
konsep diri yang positif ini diketahui sangat berpengaruh terhadap penurunan depresi. Ketika
konsep diri meningkat, maka sikap negatif tentang diri sendiri, dunia sekitar,
dan masa depan berkurang sehingga depresi menurun.
Syarat tulisan yang bermanfaat antara lain
1.
Kata-kata yang beremosi
positif seperti kata bahagia, cinta, baik dan tertawa
2.
Kata-kata dengan
kandungan emosi negative dengan jumlah yang sedang (tidak banyak dan tidak
sedikit) seperti marah, terluka, buruk
3.
Menggunakan banyak
kata-kata kognitif pada hari terahir
seperti pemikiran kausal (sebab-akibat, alasan) dan wawasan/refleksi diri
(memahami, menyadari, mengetahui)
4.
Membangun kisah yang
jelas, koheren, dan terorganisir dengan baik pada hari terakhir melakukan
expressive writing
Nah, kalau ternyata parents sendiri yang sedang mengalami kebingungan, galau dan depresi, parents juga bisa mencoba melakukan expressive writting untuk diri sendiri. Nantinya hasil expressive writing adalah seseorang mampu melihat sisi positif dari
peristiwa yang dialami
dan memiliki harapan positif terhadap masa depannya. Munculnya pandangan dan
harapan yang positif terhadap peristwa yang awalnya dianggap negatif menunjukkan bahwa parents telah mengalami perubahan cara pandang dan mengubah sikap diri menjadi lebih
positif daripada sebelumnya. Keren kan, parents? Yuk, mulai menulis dari diri sendiri dan dari keluarga initi. Menulis juga sebagai terapi dini. lho!
Comments
Post a Comment