CERPEN: TERPENJARA BUTA

CERPEN
TERPENJARA BUTA

Namaku sandri. Aku anak seorang majelis di gerejaku. Tetapi jujur aku tidak suka terlibat dalam semua hal yang disebut ‘pelayanan’. Apa itu pelayanan? Bekerja tanpa upah, dan tidak mendapatkan apa-apa. Aku tidak pernah mendapatkan kesenangan saat aku mengerjakannya, malah harus bersusah payah dan berjerih lelah. Aku memang tidak suka pelayanan tetapi aku seorang yang bertanggungjawab. Jadi semua itu kulakukan hanya karena aku tidak ingin meninggalkan tanggung jawab. Sampai suatu saat aku berkenalan dengan anak dari pendeta di gerejaku. Anak itu baru saja datang dari Singapura beberapa hari lalu. Rupanya ia baru saja lulus dari SMAnya disana.

Saat itu aku jalan terburu-buru, sepulang dari ibadah di gereja. Kemudian aku menabrak seorang pria yang sedang berjalan mundur.
“Hei, kalau jalan hati-hati dong, main tabrak seenaknya” sahutnya
“Maaf mas, aku buru-buru” selangkah kemudian aku lari meninggalkannya.
Di minggu berikutnya setelah ibadah aku melihat ia sedang duduk-duduk di pastorial. Entah apa yang dipikirkannya, kurasa ia sedang melamun sambil merokok.
Aku terpaku memandangnya, karena sejenak aku terpesona dengan parasnya yang kurasa lumayan tampan, perawakannya tinggi semampai sebelas dua belas dengan atlit basket. Kulitnya kuning langsat, hampir mendekati putih. Aku merasa asing dengan pria ini. Dengan keberanian yang kuat aku mencoba menegurnya.
“Hei, kamu cowok yang minggu kemarin aku tabrak kan?”
“Oh, eh, iya.” Jawabnya kelabakan karena terkejut mungkin dengan sapaanku
“kenapa duduk disini, ini kan tempat majelis”
“Memang nggak boleh? Apa ada aturan tertulis yang melarang orang lain selain majelis duduk disini?
“nggak juga sih. Ehm, tapi kupikir kamu jemaat baru disini ya?”
“Jemaat baru? Nggak. Aku anak Pendeta Abed. Ada masalah?”
“Ooh, anak pak pendeta. Maaf, maaf. Aku nggak tahu. Kamu anaknya yang dari luar negeri itu?”
“Ya”
“Kapan datang?”
“Minggu kemarin, hari sabtu.”
“Luar negeri mana?”
“Singapura”
“Sekolah,kuliah,kerja?”
“Sekolah, baru lulus”
“Oh.. kenalin aku sandri. Baru naik kelas 3 SMA.”
“Oh.. Aku Stev. Kamu ikut acara pemuda disini?”
“Hmm.. nggak. Aku nggak suka terlalu terlibat banyak”
“Kenapa? Bukannya rata-rata pemuda disini aktif-aktif?”
“Aku bilang nggak suka ya nggak suka!” aku menjawabnya dengan ketus. Lalu pergi meninggalkannya.
Entah apa yang kupikirkan saat itu. Aku merasa gila, saat menatap matanya dan mendengar suaranya. Dan aku menyesal meninggalkannya dengan nada kasar dan tinggi seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku benar-benar tidak suka dengan pertanyaan itu. Minggu-minggu berlalu, dan aku semakin ingin mencarinya, ingin melihatnya, bertemu dengannya. Tapi itupun hanya sekilas, hanya setelah pulang ibadah hari minggu. Kemudian terlintas dalam benakku untuk membaca warta berita. Ternyata benar dugaanku, ada jadwal kebaktian pemuda disana. Mungkin saja, aku bisa bertemu dengannya lebih sering dengan mengikuti ibadah-ibadah seperti itu untuk kalangan pemuda.  Benar saja, ternyata setiap hari jumat para pemuda berkumpul untuk berlatih vocal group, dan setiap hari sabtu ada ibadah pemuda, dan hari minggu sore ada pemahaman alkitab. Kurasa karena tinggal di rumah pendeta maka ia pasti akan datang. Kuputuskan mulai saat itu untuk terus datang dan mengikuti kegiatan-kegiatan pemuda yang dilakukan di gereja, hanya dengan motivasi untuk bertemu dengannya.
Seminggu tiga kali, cukuplah untuk mengenalnya lebih dekat. 3 bulan berlalu, dan hubungan kami semakin dekat. Banyak kesamaan diantara kami. Memang aku yang mencoba mendekatinya lebih dulu, tapi itu tak masalah karena responnya sangat baik. Mungkin cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Semakin lama kami menjalin hubungan, rasanya kami semakin jauh dari jalan Tuhan. Entah mengapa, aku semakin mengikuti arusnya. Kemanapun ia pergi, aku juga ingin pergi kesana. Ia selalu mengajakku ke tempat-tempat yang menyenangkan, sampai-sampai tidak jarang kami menggunakan waktu-waktu ibadah untuk pergi bersama-sama dan ia selalu memberikan apa saja yang kuminta. Aku percaya padanya, aku mencintainya. Aku pikir karena ia seorang anak pendeta ia tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Ia adalah pria baik. Itu saja yang kuyakini saat ini, karena aku tidak mau kehilangan dirinya.
Sampai suatu hari, kami berbohong pada orangtua kami untuk pergi mengikuti ibadah pemuda di gereja. Tapi kami memilih pergi berkencan di suatu tempat yang asing bagiku, dan kurasa tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Tempatnya jauh dari pusat kota, dan karena malam, aku tidak bisa melihat jalan yang kami lewati dan aku tidak tahu dimana itu. Aku terkejut, ketika ia memintaku untuk menyerahkan seluruh tubuhku sebagai bukti cintaku padanya. Aku tak bisa berkata apa-apa, aku terpaku, hanya bisa diam. Aku tidak berdaya menolaknya, karena ia sudah sangat baik kepadaku selama ini. Dan kupikir ia juga mencintaiku seperti aku mencintainya. Ia merayuku dengan berbagai macam cara yang manis. Dan akhirnya aku luluh di hadapannya. Aku melakukan apa saja yang ia minta. Dan aku kehilangan kesadaranku begitu saja. Hingga larut malam baru ia mengantarku pulang ke rumah.

Setelah kejadian malam itu, dia tidak pernah lagi menghubungiku. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengannya di gereja. Ia hilang begitu saja tanpa kabar apapun. Aku bertanya kepada pak Abed kemana perginya Stev. Pak abed menjawab, anaknya tidak pergi kemana-mana. Mungkin ia sedang sibuk dengan kuliahnya, sehingga tidak pernah terlihat di gereja. Kuliah? Aku tidak pernah tahu kalau dia kuliah disini. Ia tidak pernah menceritakannya padaku. Ia hanya ingin menikmati hidup tanpa tugas dan tanggung jawab, itu katanya. Sejak menjalin hubuingan dengannya aku memang lebih sering meninggalkan tanggung jawabku, baik itu sebagai anak maupun sebagai siswa. Aku tidak pernah belajar. Yang kupikirkan hanya dia. Hingga sebuah kabar mengejutkan menghampiriku. Stev ditangkap polisi karena kasus pemerkosaan anak di bawah umur dan dua mahasiswi di kampusnya. Badanku lemas, dan otakku terasa berhenti saat itu juga. Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Orang yang kucintai adalah pemerkosa. Orang yang kukira baik, dan kupikir bisa mengubahku menjadi lebih baik karena ia seorang anak pendeta ternyata tidak lebih dari penjahat. Aku tidak pernah menyangka hal ini bisa terjadi padaku. Aku merasa sangat berdosa pada Tuhan. Sejak kejadian itu aku benar-benar tidak pernah melihatnya lagi. Lukaku sudah tergores teramat dalam. Aku juga mengerti beban yang harus di tanggung keluarganya. Status kependetaan tidak mengubah apapun dalam pribadi seseorang. Aku memutuskan mengatakan yang sejujurnya yang telah terjadi antara aku dengan Stev kepada pak Abed. Dan untungnya, mereka juga mau mengerti dan meminta maaf untuk segala yang telah dilakukan Stev padaku. Dan saat ini aku sudah menerima pelayanan pertobatan. Tapi aku juga berharap Stev bertobat meski dalam terali besi.

Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial