TERPUTUS

       Setiap kali aku ingin menenangkan pikiranku atau sekedar mencari inspirasi untuk menggambar aku selalu ke tempat ini. Tempat dimana aku bisa melihat dengan jelas hamparan pasir putih yang menjadi alas dudukku, tempat yang menyajikan keindahan birunya laut, dan angin yang tidak pernah berhenti berhembus. Siang ini begitu terik, namun langit yang biru bersih tetap memakuku untuk tidak beranjak dari tempat dudukku
      Aku Fortuna, gadis buleleng yang selalu membawa kanvas beserta kuasnya kemana saja. Melukis segala hal yang kulihat dan kudengar menjadi sebuah kebutuhanku sepanjang waktu. Tapi jangan kira aku hanya melukis hal-hal yang indah saja, aku malah lebih sering melukis tentang atmosfer ‘hitam’ dan ‘kelam’.
Seperti pagi tadi, suara bapak dan ibu yang memecah suasana dengan nada-nada tinggi dan kasar. Aku berpikir haruskah orangtua bertengkar di depan anak-anaknya? Meskipun aku sudah berusia 22 tahun, dan cukup tahu tentang arti pertengkaran itu, tapi tetap saja mengesalkan bagiku.
Pergi ke pantai ini, adalah satu-satunya caraku untuk menghilangkan kepenatan yang menyergap hatiku. Sesaat larut dalam lukisanku yang menggambarkan kegeramanku tentang sebuah pertengkaran, seseorang menepuk bahuku dari belakang …
“Hei, boleh aku duduk disini ?” sapa seorang laki-laki yang ku kenal seminggu lalu di pantai ini
“Oh, hei. Iya silahkan. Hari ini, kamu berselancar lagi?” tanyaku setelah mempersilakannya duduk disampingku
“Ehm, iyaa. Tapi baru aja selesai. Kamu baru datang ya?”
“iya”
“apa ada masalah?”
“tahu darimana?”
“lukisanmu mengatakan sesuatu. Haha”
“bukan masalah sih, Cuma ungkapan hati aja. Haha”
        Laki-laki ini bernama Kamga, ia seorang peselancar hebat di bali. Aku juga tak menyangka bahwa aku bisa berkenalan dengannya. Perkenalan seminggu lalu berlangsung begitu saja tanpa direncanakan. Saat aku sedang melukis papan selancarnya yang menurutku punya keunikan tersendiri, kemudian ia melihat hasil lukisanku dan tertarik untuk memilikinya. Aku tidak bisa mengatakan kata-kata apa yang bisa menggambarkan tentang dirinya. Mungkin satu kata ini tepat: Sempurna!
Aku menikmati saat dimana kehadirannya menemaniku menembus imajinasiku. Dia memiliki pesona tersendiri untuk mencairkan suasana dan membuat seseorang bisa merasa nyaman disampingnya. Tidak terasa matahari hampir tenggelam, dan sudah waktunya kembali ke rumah masing-masing.
       Kemudian saat aku hendak masuk ke dalam mobilku, aku melihat sebuah mobil berhenti didepan kamga, disusul seorang gadis muda menghampirinya. Menarik lengan kamga seolah memaksanya masuk kedalam mobilnya. Entah yang mereka berdua katakana, tapi sorot mata Kamga yang terlihat sayu dan sesaat kosong menyiratkan sebuah keadaan yang buruk tengah terjadi. Kamga dan perempuan itupun melesat dengan mobil kijang merah tuanya dan meninggalkanku yang masih larut dalam tanda tanyaku sendiri.
      Hari ini aku ingin sekali datang ke pantai, berharap bisa bertemu dengan Kamga dan mungkin ia tidak keberatan untuk menceritakan sedikit tentang peristiwa yang kulihat kemarin. Tapi, sudah berjam-jam aku menunggunya dan tidak ada tanda kehadirannya di pantai ini. Matahari baru saja tenggelam, dan aku memutuskan untuk berhenti menunggunya dan pulang dengan hasil lukisanku yang ‘kacau’ karena perasaan menunggu yang melelahkan.
      Setiap hari aku datang ke pantai untuk melihat Kamga lagi, tetapi sudah seminggu sejak kejadian yang sesaat itu. Kamga seolah menghilang terhempas angin, dan aku tidak pernah tahu lagi kapan dia akan datang. Atau mungkin dia datang tetapi tidak menungguku. Ah, entahlah. Kenapa aku begitu memikirkannya? Siapa dia, sehingga aku harus bertanya-tanya tentang ekspresinya waktu itu, tentang perempuan itu, mungkinkah pacarnya, adiknya, sahabatnya, atau orang asing, dan menculik Kamga??? Tidak mungkin Kamga diculik, Kamga laki-laki yang bisa melawan, harusnya dia bisa mendorong perempuan itu, lalu melarikan diri atau setidaknya bisa berlari kepadaku dan meminta bantuanku. Arrrgh, pikiranku semakin kacau. Khayalan-khayalan ini yang telah terkontaminasi dengan cerita sinetron-sinetron yang sering ditonton ibu membuat aku sendiri muak dan kenapa harus Kamga yang menjadi objek halusinasiku. Haha, sepenting itukah sosok Kamga sehingga mulai meracuni lingkungan psikologisku? Atau aku sedang ..
“Jatuh cinta ya?” suara seorang laki-laki membuyarkan lamunanku
“ah, eh.. emh, Kamga?” akhirnyaa, dia datang lagi. Laki-laki ini selalu dan selalu mengejutkanku dan datang tanpa pernah diduga.
“Kenapa? Kok mukamu aneh?”
“Ha? Eh, iya kaget aja. Apa? Tadi kamu bilang apa? Jatuh cinta? Kata siapa?” sungguh-sungguh aku salah tingkah didepannya
“Itu. Lukisanmu” katanya sambil menunjuk pada coretan-coretan berwarna merah, jingga dan ungu yang kubuat secara asal.
“Ha? Kupikir ini coretan abstrak dan kubuat tanpa makna”
“Tidak mungkin tanpa makna. Saat kamu sedang melamun atau membayangkan sesuatu, dan tanganmu terus bergerak maka yang kamu hasilkan di kanvasmu adalah hal yang paling membebani pikiranmu dan itu buah alam bawah sadarmu”
“Bagaimana kamu tahu? Dan kalau kamu memang tahu, katakan apa yang ada di alam bawah sadarku”
“Very easy. It tell me how you feel recently. curious, worry, happy but trapped in a little of anxious so there are make you confuse. Right? Haha” ucapnya sambil melambaikan tangannya, dan secepat kilat ia sudah berada di tengah ombak menyatu dengan teriknya sinar matahari dan deburan air laut. Dan sekali lagi, aku terpaku. Terdiam dan benar-benar tidak dapat menyangkal ataupun menanggapi semua ucapannya.
Sesiangan itu aku melukis apapun yang ada didepanku, untuk menutupi sedikit rasa maluku karena ia berhasil tahu apa yang kupikirkan belakangan ini. Tujuanku, supaya ketika dia sudah selesai berselancar dan melihat lukisanku, tidak ada hal yang membuatnya risih dan tidak memandangku sebagai gadis aneh. Selain itu, aku berharap dia ada waktu sedikit lagi untuk berbicara denganku. Ah, Kamga datang. Pura-pura sibuk melukis saja, biar dia yang menyapa lebih dulu. Dia tersenyum, dan dia memang duduk disebelahku tapi hanya untuk minum sebotol air mineral yang dibawanya tadi. Tanpa sepatah katapun. Setelah minum, dia menyeka wajah dan badannya yang basah. Tanpa sepatah katapun. Aku tidak sabar lagi, bisa saja sebentar lagi dia akan bangkit kemudian berganti pakaian dan pergi begitu saja. Sudahlah, aku tidak mau kehilangan kesempatan ini. Ah, benar saja dia mulai bangkit dan ..
“Eh, Kamga tunggu” teriakku sontak membuatnya kaget dan menoleh
“Iya? Ada apa?” wajahnya keheranan, menatapku
“Hm, apa kamu buru-buru?”
“Gak juga sih, tapi karena ku pikir kamu sedang sibuk dengan lukisanmu dan aku tidak ingin mengganggumu untuk sekedar bicaramu denganmu. Jadi kupikir untuk ..”
“Ah tidak, tidaak. Aku tidak sesibuk yang kamu pikirkan. Duduklah sebentar lagi kalau kamu mau. Supaya kita bisa bicara” aku menawarkannya duduk ditempatnya semula, kemudian dia merebahkan dirinya disebelahku. Ya, dia menatap langit yang mulai kemerahan, karena sebentar senja akan tiba.
“Apa yang kamu pikirkan saat menatap langit?” tiba-tiba dia berkata namun dengan tatapannya yang jauh menembus langit
“Ehm, tidak ada. Karena langit membuat pikiranku kosong. Tetapi berbeda saat aku menatap laut seperti ini” jawabku dengan tatapan jauh kearah laut yang membentang
“Langit yang seperti ini meneduhkan. Tetapi laut membuat perasaan menjadi bersemangat, dan bergelora. Keduanya memberikan inspirasi bukan?”
“Iya. Keduanya menjadi insiprasi untuk hal yang berbeda. Keduanya memiliki peran masing-masing sesuai porsinya. Termasuk dalam lukisanku”
“Fortuna, pernahkah kamu merasa down sekali sampai kamu merasa bahwa langitpun tak bisa lagi meneduhkan hatimu?” tanyanya kemudian
“Pernah. Lalu aku datang pada laut. Dan mereka bersinergi dengan sangat baik”
Kemudian Kamgapun bangun, dan terduduk. Dia menatapku dengan tatapan sayu.
“aku minta maaf” ucapnya lirih
“untuk?”
“selama seminggu aku menghilang. Dan aku tidak pernah datang menemuimu, menemui laut ataupun langit. Aku tidak tahu apakah kamu mencariku atau tidak, apakah kamu menungguku atau tidak, aku tetap minta maaf”
“oh, apakah karena hal yang dikatakan perempuan yang menjemputmu waktu itu?”
“kamu melihatnya?”
“ya. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, kamu bisa menceritakannya padaku”
“dia kakak tiriku. Mamaku menikah dengan ayahnya setahun kemarin. Tetapi suatu hal yang buruk terjadi dan membuatku harus tersekap dalam ruangan gelap”
“untuk alasan apa?”
“aku juga tidak tahu. Entah itu hanya ancaman atau bukan, tapi aku tak bisa menolaknya.”
“dan hari ini kamu kabur?”
“aku tak yakin kalau yang kulakukan hari ini disebut kabur atau bukan. Aku bukan buronan, dan aku juga tidak diculik. Tapi keadaan yang aku sendiri tidak bisa menjelaskannya, memaksaku untuk kembali ke tempat itu, setiap hari”
“baiklah, aku akan menyimpan ceritamu. Terimakasih telah menceritakannya, setidaknya aku benar-benar lega, hari ini aku bisa bertemu lagi denganmu”
“kalau tidak keberatan, maukah kamu mengantarku pulang?”
“kamu benar-benar kabur dengan papan selancarmu dan berjalan kaki kesini?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi
“ahahaha, ya begitulah. Tolong kasihanilah aku, nyonya. Whahaha” pintanya sambil memasang wajah melas tapi dengan senyum nakal seraya menggoda
“whaha, baiklah. Nyonya yang baik hati ini tidak bisa menolak permintaan pengemis tampan. Ahaha” aku membalasnya dan kami berdua tertawa lepas, keadaan seperti ini membuatku nyaman. Sesekali membicarakan hal yang filosofis, tetapi sesaat bercanda dengan bahan obrolan yang ringan. Akhirnya kami berdua bersiap, dan bergegas pulang.
      Sesampai di depan rumahnya, aku terkejut. Di depan pintu gerbangnya tengah berjaga dua orang security dengan sikap tegak dan tatapan waspada. Aku tidak diperbolehkan turun dari mobil oleh Kamga. Sambil mengucapkan terima kasih, ia menyuruhku segera pergi. Meskipun saat itu Kamga menyembunyikannya, tapi firasatku mengatakan bahwa keadaan ini tidak menguntungkan bagi Kamga.


***

Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial