KISAH PUTRI RAJA KUJANG

#1 Putri Eung dan Putri Eing

            KISAH PUTRI RAJA KUJANG

            Di zaman dahulu kala di sebuah kerajaan yang berdiri di tengah-tengah pulau yang hijau dan luas, hiduplah seorang Raja Kujang bersama permaisurinya dan 2 orang anak gadisnya. Gadis-gadis raja ini bernama Eung, dan Eing. Mereka berdua belum ada yang memiliki suami meskipun usia mereka sudah hampir 25 tahun. Suatu hari Eing berniat mengajak kakaknya untuk berjalan-jalan ke desa, sambil melihat kebiasaan masyarakat yang menyukai sabung ayam. Jarak kerajaan dan desa cukup jauh, oleh sebab itu mereka diantar oleh prajurit dengan menunggangi kuda. Di tengah perjalanan, saat mereka sedang melintasi Hutan Bana, kuda milik Putri Eung mendadak berhenti. Rupa-rupanya setelah prajurit turun untuk melihat apa yang terjadi, kaki kuda tersangkut ranting pohon yang tajam. Kuda putri Eung meringkik dengan keras, saat prajurit berusaha untuk membebaskan kaki kuda dari jeratan tersebut. Tetapi, tiba-tiba saja dari balik semak-semak muncul sepasang kakek-nenek yang sedang mencari kayu bakar. Spontan membuat para putri dan prajurit terkejut.
“Ada apa nak?” Tanya kakek itu.
“tidak apa-apa kek, hanya saja kaki kuda kakakku tersangkut di ranting pohon itu.” Jawab Putri Eing
“Bolehkah kakek membantu?” Sang kakek menawarkan bantuan seraya menyentuh kaki kuda dan menggosok-gosokkan tangannya pada tapal kuda, dan menarik pergelangan kakinya sehingga kuda putri Eung bisa terbebas.
            Putri Eung sangat bersyukur atas pertolongan sang kakek. Kedua putri tersebut meminta kakek dan nenek tersebut untuk bertandang ke istana, namun mereka menolak ajakan putri.
“Tidak putri, kami berdua tidak pantas untuk datang ke kerajaan. Kami hanya rakyat miskin di tengah-tengah pulau yang besar ini. Biarlah kami hidup dengan apa adanya kami disini.“ “Tapi kami sangat berharap kakek dan nenek bisa datang ke istana, agar kami bisa menceritakan pertemuan yang baik ini kepada Ayah. Kalau kakek dan nenek tidak datang, tentu ayah akan mengira kami sedang berbohong atau mengarang cerita.” desak putri Eing, sambil merengek manja.
“Putri, kami sangat senang sekali hari ini bisa bertemu dengan para putri kerajaan yang sangat cantik. Itu sudah lebih dari anugerah untuk kami, apabila kami bisa menolong. Jika putri ingin menceritakan tentang kami, maka bawalah ini saja ke kerajaan. Nanti raja pasti akan mempercayai kata-kata putri.” Ucap sang nenek sambil memberikan sepasang potongan bambu.
“Silahkan ambil satu yang paling putri sukai diantara kedua bambu ini. Sebab hanya ini yang kami punya sebagai kenang-kenangan untuk putri.”
“Bambu yang lebih panjang ini untukku ya, kek. Karena akulah yang lebih tua” ucap putri Eung kepada sang kakek. Kakek hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Baiklah, aku yang lebih kecil saja. Kalo begitu, ayo kak kita teruskan perjalanan kita ke desa. Terima kasih banyak kek” Usai berpamitan pada kakek dan nenek, mereka langsung menunggangi kuda lagi dan melanjutkan perjalanan bersama-dengan prajurit pengawal mereka.  
***
Sesampainya mereka di desa, hari sudah mulai sore. Mereka berkeliling di pasar dan juga di tempat-tempat berkumpulnya para petarung ayam. Putri Eing sangat suka melihat sabung ayam, ia sangat semangat menyoraki ayam-ayam jagoannya yang sedang beradu. Sedangkan putri Eung yang kalem hanya bisa mengikuti kemana adiknya pergi. Setelah puas berkeliling desa, putri Eing dan putri Eung sangat kehausan. Bekal minum mereka sudah habis saat mereka masih dalam perjalanan. Mereka berencana untuk datang ke rumah-rumah rakyat untuk meminta air minum untuk melepas dahaga dan juga untuk dibawa kembali ke istana. Tetapi prajurit menyarankan untuk putri diam saja duduk di balai desa, nanti air minum akan diambilkan oleh para prajurit. Putri Eung tidak ingin merepotkan prajurit, ia bersikeras untuk mengambil sendiri air yang dibutuhkannya. Jika putri Eung sudah berbicara keras seperti itu, maka berarti ia serius dengan perkataannya dan mereka tidak ada kuasa untuk menolak perkatan putri.
“Ayo dik, kita pergi mencari air. Biarkan kuda kita dijaga oleh prajurit saja.”
“Ah, tidaklah kak, kakak pergi sendiri saja dan ditambah 1 prajurit. Supaya yang lain tetap bisa menjagaku disini, aku lelah.”
“Ahh, ya sudahlah. Aku pergi sendiri. Awas saja kau mati kehausan karena menungguku!” gerutu sang kakak karena geram dengan sikap adiknya.
Maka pergilah putri Eung ke rumah-rumah rakyat. Dia mengetuk pintu salah satu rumah yang masih terbuka, karena dia mengira rumah yang terbuka pintunya pastilah ada penghuninya. Tok.tok.tok
“Selamat malam, permisi.. apakah ada orang?” teriak putri Eung dari depan pintu rumah. Sebab sejak pertama ia mengetuk pintu tidak terdengar ada sahutan dari dalam rumah. Pintu yang terbuka dengan lebar itu membuat putri penasaran apa yang dikerjakan penghuni rumah sehingga tidak bisa menyahuti panggilannya. Maka masuklah putri ke dalam rumah. Ia masuk ke ruang tamu, tidak ada siapapun. Kemudian dia masuk ke ruang tengah, juga tidak ada siapapun. Melihat ruangan yang kosong, putri Eung akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar
Setelah masuk ke dalam kamar, “Kyaaaaaaaaa!” betapa terkejutnya putri Eung melihat jasad sepasang suami istri yang tergeletak berpelukan di bawah tempat tidur. Prajurit yang berjaga di luar rumah akhirnya masuk, dan melihat keadaan putri Eung. Prajurit pun terkejut melihat putri yang sudah duduk lemas sambil menangis tersedu-sedu disamping tubuh pasangan itu. Mereka terbujur kaku, dan sekujur tubuhnya membiru, dengan kelopak mata masih terbuka dan mulut menganga yang mengeluarkan busa. Dan yang paling membuat putri Eung histeris tiada henti adalah jasad yang ada disampingya itu adalah jasad sepasang kakek-nenek yang tadi siang dijumpainya di dalam hutan. Prajurit segera mengangkat tubuh putri yang lemas dan menjauhkannya dari jenazah. Setelah itu Putri Eing yang mendengar kabar itu dari prajurit lainnya segera berlari melihat keadaan kakaknya yang shock karena peristiwa yang baru saja dilihatnya.
Putri Eing dan Putri Eung tidak percaya atas peristiwa terjadi dalam hidup mereka hari ini. Mereka bersama-sama dengan para prajurit memberi penghormatan terakhir kepada sepasang jenazah. Mereka tidak melihat adanya tetangga-tetangga datang untuk memberi penghormatan kepada mereka, maka putri Eing dan putri Eung berncana untuk mengkremasi jasad itu dan hendak menaruh abu jasad itu ke dalam 2 potongan bambu yang telah diberikan sang nenek. Meskipun dalam hati mereka memiliki banyak pertanyaan mengapa suami istri itu bisa disini? Bukankah rumahnya ada di dalam hutan Bana? Dan apa penyebab kematian mereka? Murni karena keracunan makanan ataukah pembunuhan? Pertanyaan-pertanyaan mereka berdua terus berkecamuk selama perjalanan kembali ke istana. Mereka pulang sambil terus memegang erat potongan bambu yang berisi abu kakek-nenek tersebut.
***

Keesokan harinya, sesampainya mereka di istana, hari sudah sore. Oleh sebab itu para putri masuk istana dengan wajah yang murung, sedih dan juga lelah, para pegawai kerajaan sangat bingung dan tidak berani mengatakannya pada sang raja. Saat mereka sampai di kamar mereka masing-masing, mereka mencuci kaki dan tangan dan wajah lalu beranjak tidur. Putri Eung meletakkan bambu yang panjang dan berisi abu tersebut diatas kepala sedangkan putri Eing meletakkan bambu yang kecil di samping tempat tidurnya sejajar dengan pundak dan tangannya.  Tiba-tiba saja, saat para putri tengah tidur lelap karena kelelahan, bambu-bambu mereka mengeluarkan sinar atau cahaya dalam 5 detik. Setelah itu cahayanya menghilang. Keesokan harinya, saat para putri bangun mereka berniat untuk membuang abu jenazah itu ke laut. Saat mereka hendak melepaskan abu itu dan mengalirkannya ke laut, tiba-tiba dari dalam bambu cahaya itu muncul lagi dan mereka melihat dengan kedua mata mereka sendiri ada tunas yang sedang tumbuh dari dalam bambu.  Putri Eing dan Putri Eung terheran-heran dengan peristiwa tersebut, sebab tunas sang kakak terlihat lebih besar dan sang adik terlihat lebih kecil. Mereka penasaran, dan membawa potongan bambu kembali ke istana dan melihat apa yang akan terjadi dengan tunas-tunas itu.
Setelah tiga bulan tunas itu dirawat dan disirami, maka terkejutlah kedua putri itu melihat pertumbuhan yang sangat cepat dari tunas itu. Semakin hari semakin membesar dan tiba-tiba mereka melihat dua orang pemuda laki-laki muncul di hadapan mereka. Putri menanyakan asal usul mereka, mengapa bisa terjadi seperti ini. Mereka menjawab bahwa mereka adalah putra dari Antaswirna, penguasa laut bagian barat. Kakek yang ditemui oleh para putri itu adalah kakek yang selama ini merawat putra-putra Antaswirna selama pengembaraan di kepulauan Kujang. Kemudian mereka mendapat informasi bahwa raja Rampai sedang mengejar-ngejar mereka untuk menaklukan Antaswirna dan kawasannya. Jika kedua putera Antaswirna tertangkap, maka daerah kekuasaan Antaswirna juga akan beralih tangan. Kakek yang mengetahui keadaan buruk ini memberikan saran kepada kedua putera mahkota untuk bersembunyi di dalam bambu, sampai waktunya aman dan tepat. Tetapi, raja rampai yang cerdik itu mengetahui keberadaan dan tempat persembunyian kakek dan nenek yang di duga menyembunyikan keberadaan putera Antaswirna. Oleh karena mereka tidak menemukan jejak dari kedua putera Antaswirna, maka mereka membunuh kakek dan nenek itu dengan menyuruh mereka menenggak sebotol racun.
Kedua putra Antaswirna ini berniat untuk melamar putri Eung dan putri Eing untuk memohon bantuan kepada raja Kujang untuk melawan raja rampai. Pernikahan ini diharapkan dapat menggabungkan kepulauan Kujang dengan daerah bawah laut sebelah barat kekuasaan Antaswirna, sehingga mereka bisa mendirikan kerajaan yang lebih kuat dan megah. Kedua putri akhirnya menyetujuinya karena ini juga untuk membalaskan kematian kakek dan nenek yang telah dibunuh oleh raja Rampai. Kekuatan yang dimiliki kedua putera Antaswirna adalah hasil dari pengembaraan dan hasil pertapaan mereka selama di Kujang. Putera pertama Antaswirna bernama Pangeran Gajadhyna, dan putera kedua Antaswirna bernama Deskumanda. Gajadhyna memiliki kecerdasan dan taktik berperang yang praktis, kemampuan otak dan daya pikirnya sangat kuat. Sedangkan Deskumanda memiliki kekuatan fisik tangan yang tak terkalahkan, pundaknya juga seperti baja. Perbedaan kekuatan ini dikarenakan selama tinggal bersama puteri, mereka diperlakukan berbeda saat mereka masih tunas.
Waktu berperang pun dimulai, kelompok Raja rampai dan pasukannya menyerang kerajaan raja kujang. Namun di balik pertahanan itu ada rangkaian strategis yang telah direncanakan Gajadhyna.  


Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial