Paper : Eksploitasi Sensualitas Perempuan - Ketidakadilan Gender pada Media Massa


EKSPLOITASI SENSUALITAS PEREMPUAN SEBAGAI BENTUK KETIDAKADILAN GENDER PADA MEDIA MASSA
Ellsadayna, T.N Tahun 2015. Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura

ABSTRAK
Isu gender tak pernah berhenti untuk disuarakan oleh masyarakat di Indonesia. Isu gender yang menempatkan perempuan sebagai pusat perhatian menjadi menarik untuk dibahas dengan kajian sosial. Gender yang merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial, menghadirkan berbagai stereotip dalam masyarakat mengenai peran perempuan yang seharusnya maupun peran laki-laki yang seharusnya. Masyarakat pada umumnya menggambarkan tentang perempuan yang mempunyai sifat lemah, lembut, cantik, emosional dan keibuan. Stereotip yang berkembang di masyarakat juga diusung oleh media massa ke permukaan. Perempuan juga seringkali digambarkan dalam media massa sebagai kaum minoritas dan powerless membuat posisinya menjadi genting di tengah-tengah himpitan konstruksi sosial patriarkhi yang berkembang di Indonesia. Pada akhirnya media massa hanya akan menggunakan sensualitas yang ada dalam diri perempuan sebagai senjata dan amunisi penjualan agar dapat laku dipasaran. Stereotip perempuan sebagai ‘objek’ laki-laki yang dikonstruksikan oleh media massa, semestinya mendapatkan imbangan wacana. Wacana yang berimbang tentang ‘perempuan’ yang selama ini digambarkan sebagai kaum pasif, diam/bungkam, maka mulai sekarang mereka diberikan kesempatan untuk bersuara. Kesadaran dan keberanian seperti ini harus terus diinformasikan oleh media massa, bukan untuk mengubah kedudukan perempuan agar mendominasi dan mengkonstruk laki-laki, tetapi untuk menyeimbangkan dan menyetarakan relasi yang egaliter. Media massa sudah harus mengembalikan fungsi dan hakikatnya yang murni untuk keluhuran bangsa. Bukan lagi berpegang pada prinsip patriarkhi yang mendiskriminasi, tetapi pada konsep penghargaan harkat dan martabat sesama manusia. Perempuan membutuhkan penerimaan yang utuh dari masyarakat di lingkungan sosialnya, bukan diterima semata-mata sebagai objek sensualitas, dan keuntungan pribadi namun dihargai sebagai subjek dalam interaksi sosialnya. Media massa sanggup mengkontruksi dan sanggup juga mendekonstruksi sebuah wacana, termasuk dalam konteks gender yang secara konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki, peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan. Oleh sebab itu sangat disarankan kepada semua pihak yang terlibat baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkup media massa mulai memerhatikan kesejahteraan psikologis perempuan. Upaya ini juga berguna untuk menumbuhkan kesadaran gender yang egaliter agar baik laki-laki maupun perempuan dapat diterima dan dipandang secara utuh sebagai manusia dan subjek.
Kata kunci: Gender, Perempuan, Sensualitas, Media massa

PENDAHULUAN
            Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural. Masyarakat yang terdiri atas berbagai macam perbedaan, yang tak hanya terdiri lebih dari satu latar belakang budaya tertentu namun juga terdiri dari berbagai macam perbedaan kelas (Purwasito, 2003). Dari sekian banyak perbedaan yang ada, salah satu perbedaan yang nyata dalam masyarakat Indonesia adalah perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pembedaan yang terjadi antara lak-laki dan perempuan inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya konsep antara jenis kelamin dan peran sosial.           Perempuan berdasarkan konsep jenis kelamin adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui yakni payudara. Sedangkan menurut konsep peran sosial atau yang sering dikumandangkan sebagai gender, perempuan adalah manusia yang mempunyai sifat lemah, lembut, cantik, emosional dan keibuan (Fakih, 2008).  Isu gender tak pernah berhenti untuk disuarakan oleh masyarakat di Indonesia. Isu gender yang menempatkan perempuan sebagai subjek pusat perhatian menjadi semakin menarik untuk dibahas dengan kajian sosial. Gender yang merupakan pemilahan yang dibuat atas dasar sosial, menghadirkan berbagai stereotip dalam masyarakat mengenai peran perempuan yang seharusnya maupun peran laki-laki yang seharusnya. Masyarakat pada umumnya menggambarkan tentang perempuan yang mempunyai sifat lemah, lembut, cantik, emosional dan keibuan. Namun seiring berkembangnya media informasi dan telekomunikasi dan bertransformasi dalam berbagai bentuk visualisasi, maka semakin meluas juga persepsi yang menggambarkan tentang perempuan.
            Keterlibatan perempuan di masyarakat yang hanya berada di ruang privat dan laki-laki di ruang publik memengaruhi konten yang diusung dalam media informasi, terutama media massa. Media massa yang terus bergerak dengan berbagai varian informasi mengusung juga stereotip dan anggapan awam, termasuk juga tentang isu gender terutama perempuan. Perempuan yang seringkali digambarkan dalam media massa sebagai kaum minoritas dan powerless membuat posisinya menjadi genting di tengah-tengah himpitan konstruksi sosial patriarkhi yang berkembang di Indonesia. Pada akhirnya media massa hanya akan menggunakan sensualitas yang ada dalam diri perempuan sebagai senjata dan amunisi penjualan agar dapat laku dipasaran. Oleh karena fenomena-fenomena yang berkembang ini, membuat penulis semakin tergugah untuk menuliskan sebuah karya yang mengungkapkan bahwa Eksploitasi Sensualitas Perempuan Sebagai Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Media Massa.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketidakadilan gender yang dialami perempuan bukan suatu hal omong kosong. Meskipun telah lama terjadi emansipasi perempuan, namun sampai kini perempuan masih berada di dalam garis minoritas. Sejarah emansipasi perempuan yang ada di Indonesia telah membangkitkan semangat perjuangan kaum perempuan untuk tidak lagi berdiam diri di wilayah privat. Perjuangan ini disambut baik oleh pemerintah Indonesia, dan kemudian muncullah slogan-slogan yang memuja kaum ibu. Namun dalam prakteknya slogan-slogan tersebut berlawanan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat Indonesia, karena masih terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan. Pada masyarakat tradisional di Indonesia, laki-laki melakukan dominasi, opresi, dan eksploitasi terhadap kaum perempuan. Harkat dan martabat perempuan Indonesia dalam masyarakat tradisional ditiadakan. Perempuan Indonesia dalam masyarakat tradisional dipandang seperti benda oleh laki-laki. Sehingga mereka bebas untuk melakukan penilaian dan pengukuran, melalui penilaian tersebut perempuan menjadi objek untuk memuaskan hasrat laki-laki, menjadi sensual pleasure bagi laki-laki. Ketika perempuan mencoba untuk menuntut keadilan atas dirinya sendiri, laki-laki menganggap itu suatu hal yang lucu. Tanpa disadari masyarakat sering kali terjerumus dalam praktik  tindakan penindasan terhadap kaum perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan baik berlangsung dengan cara kasar maupun dengan cara “super” halus (M.Ainul Abid, 2001).
Eksploitasi sensualitas perempuan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu kala membuat media massa mengangkat hal tersebut ke permukaan dan seolah-olah sudah menjadi ‘pakem’ bahwa perempuan di ruang privat maupun di ruang publik dapat dijadikan objek keuntungan dan mudah diberdayakan karena memiliki sifat yang lembut dan lemah. Media massa telah menjadi reflektor dari adanya penindasan terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender semakin terlihat saat perempuan dijadikan sebagai komoditi untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Saat ini media massa memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas secara langsung dengan bisnis seks dan hiburan, atau secara tidak langsung dengan menjadikan perempuan sebagai perantara dalam proses pasar media.
Media massa sendiri sebenarnya memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan informasi dan pendidikan yang benar kepada masyarakat. Media massa seharusnya dapat bersikap netral dan objektif ketika menyampaikan sebuah pesan. Nurudin (2004) mengatakan bahwa “media massa merupakan elemen terpenting dalam komunikasi massa. Sebab tak ada komunikasi massa tanpa media massa.” Media massa menjadi kunci untuk menyampaikan pesan dari komunikator yang melembaga, kepada komunikan yang heterogen dan tersebar di berbagai tempat. Melalui media, komunikator mengkonstruksikan pesan sebagaimana diinginkannya dengan tujuan tertentu yang dapat memberi pengaruh kepada komunikan.
Pesan-pesan yang disampaikan melalui media massa memiliki beberapa fungsi dalam masyarakat. Nurudin (2004) menyebutkan 8 fungsi media massa, antara lain sebagai:
1.    Informasi. Fungsi informal adalah fungsi paling penting yang terdapat dalam media massa. Komponen paling penting untuk mengetahui fungsi ini adalah berita-berita yang disajikan.
2.    Hiburan. Media massa elektronik menduduki posisi yang paling tinggi dalam fungsi memberikan hiburan karena dijadikan sebagai pelepas lelah oleh masyarakat setelah bekerja.
3.    Persuasi. Fungsi persuasi bisa dalam berbagai bentuk misalnya mengukuhkan atau mengubah sikap, kepercayaan atau nilai, menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu, dan memperkenalkan atau menawarkan etika/sistem tertentu.
4.    Transmisi budaya. Media massa merupakan alat utama transmisi budaya, yang terbagi dalam dua tingkatan; kontemporer dan historis. Secara kontemporer, media memperkuat konsensus nilai masyarakat dengan sellau memperkenalkan bibit perubahan terus menerus
5.    Mendorong kohesi sosial. Media massa mendorong masyarakat untuk bersatu. Media merangsang masyarakat untuk memikirkan dirinya bahwa bercerai-berai bukanlah keadaan yang baik bagi kehidupan mereka.
6.    Pengawasan. Media massa berfungsi mengawasi kejadian-kejadian yang ada di sekitar. Baik berupa pengawasan peringatan maupun pengawasan instrumental.
7.    Korelasi. Yakni dengan menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya
8.    Pewarisan sosial. Media massa sebagai pendidik, baik yang menyangkut pendidikan formal amupun informal yang mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai, norma, pranata, etika dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Namun fungsi media massa yang ideal seperti diatas ternyata tidak terjadi di masyarakat Indonesia. Media massa yang ada sering menganggap perempuan sebagai subjek manusia yang bukan laki-laki, dan sering pula dihadirkan sebagai mesin operasional, objek fatish, objek peneguhan pola kerja patriarki, objek seksis, bahkan bisa jadi sebagai objek pelecehan dan kekerasan. Media seolah tidak memberikan ruang secara adil terhadap perempuan karena kuasa patriarki di dalamnya. Selain itu alasan perempuan sebagai objek media karena laki-laki lebih dominan sebagai yang memiliki ide berita, dan perempuan serta minoritas seksual sebagai objek berita, objek seks, dan objek sensasi, sehingga muncul stereotip perempuan yang baik adalah perempuan yang mampu tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami, dan pantas diajak datang ke berbagai acara. Perempuan tidak lagi hadir sebagi suatu pribadi, tapi hanya simbol-simbol untuk menyenangkan penonton yang didominasi laki-laki.
Pewarisan sosial yang menjadi fungsi media massa hanya mewariskan anggapan-anggapan dan informasi tentang penampilan perempuan secara fisik dan secara intrinsik dalam muatan informasi yang merendahkan perempuan, yaitu menjadikan perempuan sebagai objek dari pihak yang berkuasa. Wacana yang merendahkan posisi perempuan ini ada yang bersifat terbuka dan manifes, sehingga mudah dilihat, seperti ekploitasi bagian tubuh dalam konteks seksual dan tujuan sensualitas. Selain itu ada yang bersifat tertutup dan tersembunyi, seperti eksploitasi kualitas tubuh perempuan, kecantikan, kerampingan, dan kulit lebih putih. Hal-hal ini membuat citra perempuan hanya akan dilihat, dipandang dan dinilai dari segi keadaan fitur tubuh, bukan pada figur personafikasi dan peran sosialnya. Penampilan fitur bagian tubuh perempuan untuk tujuan kesenangan laki-laki dapat disebut sebagai eksploitasi perempuan dalam kerangka patriarkhi (Purbani, 2000).
Hal diatas masih ditambah lagi dengan masalah ketidakadilan gender dalam bingkai pornografi. Meskipun terdapat berbagai perbedaan mengenai pornografi, umumnya kegiatan itu sendiri dianggap sebagai pelecehan seksual terhadap salah satu jenis kelamin. Jenis kekerasan perempuan dalam budaya pornografi tersebut termasuk kekerasan yang bersifat nonfisik (Mansour Fakih, 2000) yakni kekerasan dalam bentuk pelecehan terhadap kaum perempuan yang dijadikan objek demi keuntungan industri media. Rosemarie Putnam Tong (2008) mengatakan bahwa pornografi merupakan propaganda patriarkhi dengan peran perempuan “seharusnya” sebagai pembantu, penolong, perawat, mainan laiki-laki. Laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objek. Keadaan ini membuat perempuan disubordinasikan, dan secara eksplisit mendehumanisasikan perempuan sebagai objek, benda, dan komoditi seksual.
Informasi tentang kekerasan seksual dalam media massa juga menampilkan imajinasi seksual, menaikkan syahwat pembaca atau penonton, dan menjadikan perempuan sebagai objek yang telah menjadi korban. Sikap tidak empatis pada korban, dan bias yang berpihak dan bersimpati pada pelaku, menimbulkan kesan media kurang adil dalam memberitakan korban. Para pengusaha dan orang-orang industri yang berada di belakang media massa menggunakan perempuan sebagai daya tarik dengan berbagai tindak eksploitasi dan semakin mengukuhkan stereotip yang ada di masyarakat. Tetapi mereka selalu menolak dikatakan mengeksploitasi, karena yang mereka lakukan hanyalah wujud dari kreativitas. Hal ini ditentang keras oleh Jenny Hardono, seorang creative director dalam Seminar Nasional tentang perempuan di Surabaya yang menyatakan bahwa “kreativitas bisa dilakukan dengan banyak cara, tidak harus dengan membuka baju perempuan” (Nurul Arifin, 2001).
Ketidakadilan gender sebagai ide pokok dari lahirnya feminisme telah membangkitkan sebuah gerakan pembebasan perempuan yang bertujuan mentransformasikan suatu pranata sosial yang secara gender lebih egaliter. Tujuan ini didasarkan pada kesadaran dan kenyataan bahwa sistem patriarki yang berlaku pada mayoritas masyarakat manusia di dunia sesungguhnya secara gender tidak egaliter dan menindas terutama terhadap perempuan, sehingga perlu dilakukan transformasi ke arah yang lebih adil (Homzah, 2010). Pada setiap kesempatan, perempuan pada umumnya memiliki “rasa” yang sama dengan laki-laki yakni keinginan untuk dikenal banyak orang, kemapanan ekonomi, dan hidup terhormat. Keduanya juga sama-sama memiliki kapasitas untuk memberikan respons seksual. Masyarakat Indonesia sering menentukan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual yang kuat, sementara perempuan berkewajiban untuk melayani hasrat seksual laki-laki. Hal ini diteguhkan oleh hasil produk media yang mencitrakan perempuan untuk menjadi pihak yang kalah atau selalu harus melayani dan memenuhi kebutuhan laki-laki dalam relasi seksual. Sedangkan laki-laki dicitrakan memiliki kontrol terhadap sensualitas kaum perempuan. Bahkan ada sebagian yang mengatakan, perempuan hanya memenuhi citra peraduan, yaitu menjadi objek-objek pasif dari hasrat-hasrat seksual dan erotis laki-laki. Atas dasar ini tampak bahwa tindakan seksual di antara laki-laki dan perempuan tidaklah egaliter.


KESIMPULAN DAN SARAN

Stereotip perempuan sebagai ‘objek’ laki-laki yang dikonstruksikan oleh media massa, semestinya mendapatkan imbangan wacana. Wacana yang berimbang  tentang ‘perempuan’ yang selama ini digambarkan sebagai kaum pasif, diam/bungkam, maka mulai sekarang mereka diberikan kesempatan untuk bersuara. Kesadaran dan keberanian seperti ini harus terus diinformasikan oleh media massa, bukan untuk mengubah kedudukan perempuan agar mendominasi dan mengkonstruk laki-laki, tetapi untuk menyeimbangkan dan menyetarakan relasi yang egaliter. Media massa sudah harus mengembalikan fungsi dan hakikatnya yang murni untuk keluhuran bangsa. Bukan lagi berpegang pada prinsip patriarkhi yang mendiskriminasi, tetapi pada konsep penghargaan harkat dan martabat sesama manusia. Perempuan membutuhkan penerimaan yang utuh dari masyarakat di lingkungan sosialnya, bukan diterima semata-mata sebagai objek sensualitas, dan keuntungan pribadi namun dihargai sebagai subjek dalam interaksi sosialnya. Setiap media massa pada dasarnya berperan untuk melahirkan wacana melalui teks visual dan auditif, dan merupakan makna yang mudah ditangkap oleh khalayak. Media massa sanggup mengkontruksi dan sanggup juga mendekonstruksi sebuah wacana, termasuk dalam konteks gender yang secara konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki, peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan. Oleh sebab itu sangat disarankan kepada semua pihak yang terlibat baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkup media massa mulai memerhatikan kesejahteraan psikologis bagi perempuan. Upaya ini juga berguna untuk menumbuhkan kesadaran gender yang egaliter agar baik laki-laki maupun perempuan dapat diterima dan dipandang secara utuh sebagai manusia dan subjek, bukan sebagai objek sensualitas semata. 

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Nurul, 2001. Wajah Perempuan dalam Media Massa”, Mediator,  
Jurnal Komunikasi, UNISBA-Bandung.
Fakih, Mansour, 2000. Kekerasan dalam Persepektif Pesantren, Jakarta:
Grasindo.
S. M Ainul Abid, dkk., 2001. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, Bandung: Mizan.
Purbani, Widyastuti, (1999). ‘Penindasan Ganda pada Feature
Kisah/Peristiwa dalam Majalah/Tabloid Pop Wanita.’ Dalam Siregar, Ashadi; Pasaribu, Rondang, Prihastuti, Ismay, ed. Media dan Gender: Perspektif Gender atas Industri Surat Kabar Indonesia: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation
Musta’in. 2013. Sisi Lain Perempuan Dalam Sorotan Media; Tinjauan
Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory-Mgt). STAIN-
Purwokerto. Jurnal Vol 4 No 1
Siregar, Ashadi. (2004). Ketidakadilan Konstruksi Perempuan Di Film Dan
Televisi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol 7 No 3. UGM-
Yogayakarta



Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial