Cerpen Remaja Milenial Masa Kini

JADAH

Tema tahun ini, tahun yang sepi. Kalaupun ramai, hanya berasal dari bunyi gemuruh di langit. Petir dan kilat berlomba merecoki hari, nahas aku tetap saja bergeming dalam lamunan di depan catatan-catatan tugas sekolah. Hidup ini perjuangan. Begitu kalimat-kalimat yang sering ku dengar dan ku baca di kutipan-kutipan instagram. Tapi mengimani dan mengamininya bagiku tak semudah mendengar dan membacanya. Terdampar di kafe seorang diri dengan laptop di meja, tumpukan buku dan sebundel makalah yang direvisi, juga adalah sebuah perjuangan tuk masa depan yang entah bagaimana. Derap langkah seseorang di belakang menghampiriku.
“Reni? Beneran kamu ya Ren? Ih, kamu kok kayak gendutan gitu ya, padahal baru aja 2 tahun lalu kita lulus SMP, kamu udah kayak beda gini. Berisi. Pangling aku.” tangan mungil Desi menepuk pundakku lantas melontarkan pernyataan basa-basi yang sangat basi dan sok akrab itu. Dia langsung duduk didepanku, mencubit pipiku yang mengembang “Kamu beneran berubah lho, mungkin karena lama ya kita nggak jumpa. Waktu itu kamu masih sama Guntur kan?” Tampaknya Desi pantang menyerah, ia terus mengoceh sampai aku tak kuasa untuk menanggapinya. “Ah, masa sih Des aku kelihatan begitu? Iya, sampai sekarang aku juga masih sama Guntur, kok.” balasku dengan senyum sopan, menahan kesal dalam hati. “Hmm, awet juga ya kalian pacarannya. Lama lho itu, eh kalian udah ngapain aja selama ini? Hahaha.” Deg!  Glek! Aku menelan ludah. Lidah Desi setajam silet. Pertanyaan yang meluncur dari mulutnya terlalu lugas hingga aku tak bisa berkutik. “Hmm, kenapa tanya-tanya begitu Des? Memangnya kamu kalau pacaran ngapain aja?” tanyaku balik. “Haha, kamu ini ngeles atau cuma pura-pura sok polos? Aku tahu lah badan-badanmu yang kayak gini ini, pasti udah pernah dipake kan? Hahaha” Desi tertawa meledek. Aku terdiam. Sekujur tubuhku mendadak jadi dingin beku. Aku memandang tubuhku sendiri dengan wajah bersalah dan bingung. Sedikit sangsi dengan ucapan Desi, dukunkah dia? “Haha, santai.. santai Ren, nggak apa-apa kok. Biasalah, lagipula kita kan sudah SMA, wajar kok kalau sudah pernah juga, asal nggak sampai hamil aja.” Setelah Desi mengucapkan hal tabu itu, seorang laki-laki menghampiri meja kami. “Hello, Beib. Wah ketemu temanmu ya?” ujar pria itu sesaat setelah melihatku yang duduk bersinggungan dengan jendela.
“Iya, ini teman lamaku. Teman sekelas waktu SMP. Kebetulan saja ketemu disini. Oke deh, sorry kalau sudah ganggu ya Ren. Silahkan dilanjutkan lagi ngerjain tugasnya” timpal Desi kepada kekasihnya yang berkemeja hijau toska dan kepadaku. “Oh oke Des. Have fun” Ucapku masih dengan wajah yang pucat pasi. Menatap kosong ke arah dua orang yang beranjak meninggalkanku. Hingga bayangan mereka beralih ke meja dan sofa yang berada di sudut kafe.  Aku masih termangu, pikiranku tiba-tiba kacau, air mata jatuh tanpa sadar. Basah di pipiku ketika aku memikirkan kembali perkataan Desi. Benarkah tubuhku berubah? Aku sudah jelek? Gendut seperti tubuh ibu-ibu? Apakah dia sungguh bisa menebak gaya berpacaran seseorang hanya dari penampilannya? Seluruh pertanyaan menggelayutiku. Sepuluh menit aku termenung, seorang lelaki menjemputku pulang, memakaikan jas hujan padaku dan memasangkan helm di kepalaku. Tak berapa lama kemudian, aku telah sampai di depan pagar rumahku. Guntur namanya, tak mau masuk, ia memilih langsung pulang, tak ingin bertemu dengan orangtuaku. Segan. Katanya.
Baru saja aku meletakkan tas ranselku di sofa ruang tamu, perasaanku tidak enak. Aku bergegas ke kamar mandi. Hueek hueek… emmh, hueeek… Beberapa hari ke belakang, aku sering sekali merasa pusing. Aku merasa sangat lelah sekali, padahal hanya 2 jam duduk di kafe itu. Perutku mual dan ingin muntah. Aku jadi sering merasa lapar, namun hilang selera kala makanan telah tersaji di depanku. Indera penciumanku juga lebih tajam, aku mudah sensitif dengan aroma. Aku juga jadi sering buang air kecil. Ku pikir aku maag dan masuk angin, namun tiba-tiba aku teringat ucapan Desi tadi siang, asal nggak hamil aja.
Perkataan itu mencengkeram lamunanku hingga berhari-hari kemudian. Perutku mulai terasa kram dan ada bercak darah di celana dalamku. Ah, Desi salah. Aku hanya kedatangan tamu. Tapi aneh, ini sudah lebih tujuh hari dari tanggal seharusnya dalam siklus bulananku. Di keesokan pagi, ku kumpulkan segala berani dan menguji diri dengan alat tes kehamilan. Aku menadahi urinku, meletakkan alat itu didalamnya. Takut-takut cemas, aku mencoba mengintip sedikit. Dua garis biru. Ku banting botol kecil yang berisi air kuning itu, emosiku tak teredam. Tangisku pecah. Dadaku terengah-engah. Terbayang film singkat di ingatanku, akhir bulan lalu di sebuah bilik warnet yang sepi. Ah, mengapa ku kerjakan itu? Membuka jalan bagi candu yang ingin dipuaskan bertubi-tubi. Guntur. Aku tidak tahu cara mencegahnya, aku tidak bisa menguasai diriku saat itu. Aku bodoh. Aku merasa tak berharga lagi. Aku akan jadi ibu, padahal aku belum juga lulus sekolah. Bagaimana orang akan memandangku? Mereka pasti akan merundungku habis-habisan. Dengan segala daya ku coba katakan pada Guntur, sialnya ia tak mau lagi bersamaku. Dia menyangkalnya. Dia tidak menginginkannya. Kami putus. Dan aku harus menanggungnya seorang diri. Tidak ada lagi yang mau menerimaku. Haruskah ku mati bersama-sama janin ini, menghapus semua jejakku dan perihnya deritaku? Aku semakin terjebak dalam pusaran kebencian pada diriku sendiri, mendakwa realitas yang ada di hadapanku, menyabotase seluruh senyum dan percaya diriku. Kenyataan bahwa aku hanyalah siswi kelas 2 SMA yang meratapi nasib sebagai calon ibu di usia belia.
“Ma, aku mau bicara” aku memulai percakapanku kepada Mama yang saat itu berada di rumah.
Jantungku berdegup, keringatku mengucur, memompa adrenalinku. Belum sempat lupa dan hilang rasa takut serta gugupku dua minggu ini, aku sudah harus bersiap menghadapi yang lebih besar lagi.
Mempersiapkan diri untuk amarah dari orangtua dan keluarga besar. Membayangkan hal itu tak terhitung lagi banyaknya air bening yang tertumpah. “Bicaralah. Mama mendengar” Mama mengambil tempat di dekat pembaringanku, dan memerhatikanku dengan cermat. “Ma, aku minta maaf, aku salah. Aku duduk perut.” Mama terbelalak, menarik napas panjang, lalu sekuat hati bertanya “Anak Guntur?”. “Iya Ma. Tapi Guntur menolaknya. Minggu lalu kami putus. Dia pindah sekolah”. “Mama kecewa sama kamu. Kamu abai. Kamu tidak pernah menempatkan Mama dan Papa di tempat pertama di hatimu. Kamu terus melihat ke arah dia yang pergi. Kamu tidak pernah pulang dipelukan Mama seperti gadis kecil Mama dulu. Dan sekarang sudah ada malaikat kecil yang kamu kandung, kamu kira apa kamu siap menjadi orangtua yang kelak akan ditikam jantungnya oleh anak sendiri? Apa kamu sudah siap jadi seperti Mama? Kamu keterlaluan, Reni” Mama tak sanggup menahan amarah dan luapan perasaannya.
“Ma. Aku dikhianati. Guntur meninggalkanku, dan sekarang aku tak punya siapa-siapa lagi yang menerimaku kecuali orangtuaku”. Tangisku mengiba. “Kamu kira keluargamu ini apa? Jamban? Tempatmu membuang semua kotoran sisa-sisa setelah kamu menikmati yang indah-indah dengan orang yang bahkan tidak berjasa sama sekali di masa hidup pertamamu”. “Maafkan Reni, Ma..“ jerit hatiku membuncah, aku menangis terisak merunduk di telapak kaki mamaku. Wanita pertama yang kukecewakan hatinya yang dengan sekuat tenaga menahan tetesan empedu yang harus dikecapnya. “Apa yang kamu mau dari Mama dan Papamu ini?” timpal Papa dari belakang yang sedari tadi menguping pembicaraan kami di kamar. “Kalau memang rasa malu ini tak tertanggungkan, ijinkan aku pamit dari bumi. Menelan sesalku dalam kuburku, Ma.” Papa membalik tubuhku hingga dapat kulihat wajahnya yang merah padam dengan jelas. Plak! Tamparan keras telapak tangan Papa mendarat di pipiku. “Kamu kira kami berjuang membesarkanmu hanya untuk melihatmu mati tanpa guna? Kamu harus bertaggungjawab. Hiduplah, lahirkan dan besarkan anakmu. Supaya kamu tahu cara unuk menghadapi hidup atas pilihanmu sendiri” tukas Papa, Beliau membanting pintu kamarku dan pergi keluar dari rumah.
Di penghujung tahun, tepat di usia delapan bulan kandungan aku melahirkan bayi mungil ini dalam sepi dan sunyi. Aku mencoba melepas kecewa sebelum pahitnya sempat berakar di hati. Bukan hal yang mudah melepaskan atau mempertahankan apa yang semula baik tiba-tiba berubah drastis menjadi amat buruk. Tapi aku belajar bertahan sebagai tanggung jawab atas karma hidup yang ku pilih. Menanggung dosa dan anugerah ini seorang diri. Gema. Inilah nama anak perempuanku. Berharap suaranya suatu saat nanti bisa didengar oleh telinga Ayahnya, menyuarakan jerit hatiku yang tak pernah tersampaikan. Bahwa aku masih hidup dibawah aura gelap yang dihembuskannya. Kini aku belajar menjadi ibu, pelajaran seumur hidup. Jauh lebih sulit daripada pelajaran sekolah dan tumpukan tugas-tugas SMA. Bermodal Ijazah SMP, tak ada yang bisa kulakukan selain menjadi penjaga warung. Menghidupi satu-satunya anakku yang kini berusia dua bulan. Aku tahu dari internet harusnya dia mendapatkan ASI eksklusif untuk membuatnya kebal dari segala macam penyakit, memberikan imun terbaik adalah kewajiban, tetapi apa daya jika buah dadaku tak memproduksi airnya dengan sempurna. Resiko terlalu dini.
Di tengah malam sering aku merengkuh bantalku untuk membungkam tangisku. Guntur, entah kamu berada di makrokosmos yang mana saat ini. Apakah aku tidak pantas? Untuk apa kita pernah ada, jika semua kenangan yang dilalui kandas tiba-tiba? Padahal kita pernah saling berbagi, bahkan mengucap janji tak akan pernah saling pergi dan akan tetap terus bersama kembali walau badai menghampiri, tapi kenyataannya kau meninggalkan diriku sendiri. Sebelum denganmu, aku tak pernah tahu segetir ini rasanya menanti maaf yang tak pernah terucap. Setelah semua yang terjadi, kamu tetiba lebur di luar tabir. Bagaimana cara memberitahumu bahwa ada air yang jatuh tanpa suara? Sesenggukan dalam hening, sedang kau disana rumit memikirkan apa. Tangis ini ku biarkan menyatu dengan udara yang bebas nilai. Karena ia takkan memihak. Ia akan menjadi napas bagi semua yang merasa ditinggalkan dan dicampakkan. Akulah pecahan atom-atom dari senyawa bernama cinta. Kau takkan menemukan aku dalam wujud lagi, namun kau dapat menyebut yang tersisa dariku. Nama. Aku bergaung di tiap malamku, sambil meninabobokkan Gema di dekapanku. Mengikhtiarkan jeritan kelelahan, lelah batin yang melumpuhkan sendi-sendiku kepada yang ku sebut Sang Hyang :
Ya Tuhan, Tolong aku untuk memahami bahwa masa-masa sulit dapat membuatku lebih kuat pada akhirnya. Meski itu bersembunyi dibalik longgokan batu karang. Aku tak sanggup lagi, Tuhan. Yang awalnya ku kira baik-baik saja, menyadarkanku bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir, aku stres, aku bingung, tetapi aku tahu bahwa Tuhan akan membuat hal yang benar terjadi. Sehingga semuanya akan baik-baik saja. Ya Tuhan, beritahukanlah kepadaku akhir hidupku dan sampai dimana batas umurku, supaya aku tahu betapa fananya aku. Di hadapanMu hidupku seperti tiada artinya. Aku malu. seringkali menjadi manusia yang pikun dan tak tahu diuntung. Terlampau besar mengharapkan bahagia dari seonggok ciptaan, namun saat terluka karenanya justru menyalahkan penciptanya. Mulai ingat dan minta diperhatikan. Ya Tuhanku, jiwaku tertekan di dalam diriku. Sebab itu aku akan mengingat Engkau. Ajari aku menerima diriku. Seperti Engkau menerimaku yang adalah sampah menjadi berharga.
Setiap nama akan hadir dan pergi, silih berganti. Dia yang pernah berjanji, nyatanya mengingkari. Dia yang pernah menemani akan bermigrasi. Yang tertinggal dan tersisa hanya Diri dan Dia Sang Widhi. Tuhan berlaku adil dalam setiap rencanaNya. Untukmu dan untukku

Comments

Popular posts from this blog

CARA SKORING TES PSIKOLOGI VSMS

Laporan dan Deskripsi Observasi VSMS

Analisis Film menurut Teori Psikologi Sosial