PUISI JAMAN NOW - ESSAY
PUISI JAMAN NOW
Puisi sekarang berbeda dengan puisi
terdahulu. Perkembangannya seiring teknologi dan media sosial yang menguasai
kehidupan para penikmatnya. Puisi dulu sarat akan makna yang mendalam dan
kontemplasi jiwa. Sangat matang. Sehingga bisa dijiwai dan diekspresikan dalam
aneka wajah. Salah satunya perwajahan puisi dapat dinikmati melalui teatrikal
puisi. Sandiwara yang diiringi dengan membaca naskah puisi di atas panggung ini
menjadi seni yang diminati oleh banyak orang. Karya puisi yang dipentaskan dan
diperankan biasanya mengedepankan estetika puitik. Tata panggung dan teknik
bloking sebisa mungkin menerjemahkan makna puisi ke dalam tampilan lakon yang
artistik. Sehingga sekalipun syairnya singkat dan sederhana namun tetap dapat
memberikan ruang imaji kepada penikmatnya, memberikan energi yang dapat dirasa
oleh benak penyanjungnya.
Namun jika ditelaah, puisi-puisi yang
dibacakan dan dipentaskan kebanyakan adalah puisi-puisi dari penyair-penyair
yang sudah mumpuni di bidangnya. Bukan dari 'penulis' puisi yang karbitan hasil
media sosial. Kenapa? Seperti yang kita tahu, kini bermunculan fenomena instan.
tak terkecuali dalam puisi. proses penciptaan puisi yang haus akan apresiasi
maya di dunia maya. Orang-orang terutama kawula muda berlomba meraih
popularitas melalui sosial media mencantumkan kutipan kutipan puitis atau
bahkan syair syair puisi. Namun tak jarang isi yang terkandung di dalamnya
hanya curahan hati belaka, berkutat pada cinta dan perasaan sebelah tangan. Andaikata
pun mereka mencipta seringkali terlalu mudah, tanpa pemaknaan dan perenungan
yang mendalam. Puisi yang demikian menjadi kehilangan unsur estetiknya dan tak
ada tantangan yang berarti untuk menerjemahkannya ke dalam lakon panggung. Keelokan
yang dinanti dari sebuah kontemplasi yang mendalam menjadi hilang makna.
Hal baiknya adalah puisi semakin
melebar, tak terkungkung dalam 'hak milik' atau dogma dan pakem. Ia dimiliki
oleh segala bangsa, segala umur, segala profesi. Mereka mulai mencintai puisi
secara sederhana, ingin mencium aroma puisi yang semerbak namun sayang mereka
mencampurnya terlalu banyak. Hingga kombinasinya seringkali tak pas. tak jarang
kesan ingin muntah. Begitulah mereka belajar menulis puisi, ruang instagram
menjadi media yang paling kekinian untuk menumpahkan karya. Karya yang
diterbangkan dan dihempaskan dengan tanda pagar tanda pagar. Memudahkan
p;encarian dengan aneka tanda pagar tak ubahnya seperti propaganda politik yang
mengebom beranda-beranda sosial. Berisi tentang keluh kesah, perasaan-perasaan
artifisial, menyemarakkan majas-majar hiperbolis, dan romatisme khas pujangga
baru. Rumusan puisi yang bermain dengan spontanitas, kecairan yang meluber
tanpa endapan esensi, dan substansi yang instan akan terus bergemerisik di
media maya dan merasuki para penyair baru.
Sebenarnya tak ada yang benar dan tak
ada yang salah. Seni adalah tentang selera. Termasuk dengan puisi. Puisi
memiliki banyak dimensi, ada dimensi gelap, remang-remang dan terang sekali. Namun
bagi saya, keindahan puisi akan semakin nampak saat ia tak melulu menuju pada
satu titik. Keindahannya terletak saat ia bisa berintegrasi dan melebur ke
dalam imaji penafsiran masing-masing penikmatnya. Sehingga setiap pengagumnya
dapat berpikir lebih dalam tentang makna yang terkandung di dalam syairnya.
Menyentuh sanubarinya dan menembus alam pikirnya sehingga mengaitkannya ke
seluruh elemen kehidupan. Puisi bukan tentang panjang-pendeknya syair, bukan
tentang kaya dan miskinnya majas. Namun tentang esensi hakiki dan dalamnya
kontemplasi yang menyentuh hikayat kalbu. Serta kebhinekaan sudut pandang
interpretasi dari masing-masing penyair.
Kawula muda pecinta puisi ini perlu
mendapatkan pencerahan dan jalan terang, kemana seharusnya puisi berhulu dan
berhilir. Jalan yang telah ditempuh para pujangga senior, yang telah melewati
masa-masa penting dan genting dalam sejarah puisi di Indonesia perlu ditelusuri
lagi. Sebab kiprah kepenyairan tak seinstan mie rebus atau mie goreng. Puisi
melewati perjalanan panjang yang teruji waktu dan sejumlah penghayatan. Pujangga
muda perlu figur untuk belajar, tak menjadi silau dengan pujian jempol. Namun
berusaha menunjukkan kualitas nyata dari karyanya. Mereka perlu himbauan dan
binaan dari penyair terdahulunya. Sebutlah beberapa penyair yang menghasilkan
puisi yang sebenar-benarnya puisi di antaranya: Abdul Hadi WM, Acep Zamzam
Noor, Agus R Sarjono, Ahda Imran, Aspar Paturusi, Dimas Arika Mihardja, Hendry
Ch Bangun, Kurniawan Junaedi, atau Soni Farid Maulana, Sapardi Djoko Damono,
Sitor Situmorang, Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor sampai ke Joko Pinurbo
Tak ingin para penyair senior tersebut
hanya menjadi museum hidup, karya mereka butuh di hidupkan dengan nyalanya
terang dan remangnya panggung. Karya mereka butuh dihidupkan dan di lumat
perlahan oleh yang mencintai puisi. Kontribusi para penyair senior di
daerah-daerah juga tak kalah penting, termasuk di Jember sendiri. Kehadiran
komunitas yang meriwayatkan pendahulunya untuk belajar sangatlah penting, untuk
meluruskan yang bengkok, bukan untuk sekedar bernostalgia pada rima dan jenis
syair masa lalu. Namun terus mencoba melebur dengan kekinian mencipta
modernitas puisi tanpa mencabut akar esensi.
Lihatlah, kelugasan yang diutarakan
Chairil Anwar dengan diksi sederhana yang khas tak membuat serta merta puisinya
menjadi dangkal. Namun kita memelajari estetika dalam berkarya, kejeniusan
merangkaikan kesamaan bunyi. Kita juga bisa meramaikan metafora dan
menggantungkan kalimat yang belum lengkap untuk menyediakan ruang permenungan
bagi para penikmat. Sehingga pembaca tak terbuai dan manja akan eksplisitas
pesan yang tertuang.
Namun
lebih menjiwai makna dan ilham yang didapat dari larik demi lariknya.
Mari menjaga dan meningkatkan kualitas
puisi, wahai pujangga muda. Engkau yang meleburkan jiwa dan pikiranmu ke dalam
baris kata, tanamkan juga kedalaman filosofimu. Lahirlah generasi Chairil Anwar
dengan kualitas dan stamina kepenyairan yang tak pupus oleh zaman, menggali
kata hingga ke putih tulang. Mencapai estetika tertinggi dengan
panggung-panggung yang elok dan nyata. Tak hanya bermuara di dalam ruang maya. Namun
memancangkan kembali sendi-sendi gerak tubuh puisi, dalam ekspresi wajah yang
otentik, membuka gelombang tafsir seluas-luas samudera. Mengembangkan sayap
tema yang melek akan kondisi nyata, memakai seluruh indera, menangkap dengan
mata dan telinga aneka potret kemanusiaan, sosial budaya dan universalitas,
harmoni alam, dan tentang problem manusia. Dengan rasa yang terasa dalam setiap
pembacaan puisi, kita akan tahu bedanya karya sastra dengan berita di media
massa atau teks buku harian. Supaya puisi tak hanyut dalam senjakala diksi,
namun menyala berkobar dengan kiprah aneka metafora dan gantungan referensi. Bukan
bermaksud menjadi epigon namun mencipta dengan otentik segala karsa imaji yang
hakiki, tak hanya mengasal larik dan persajakan yang berima.
21
November 2017
Ellsadayna
Comments
Post a Comment